Angin di jendela menerpaku, membuat tetesan air mataku terasa dingin. Aku mendekap erat guling di hadapanku.
“Meong…” Rintihan khas cipus terdengar sayup di telingaku.
“Cipus…” Panggilku dengan nada bergetar, aku mengikuti langkah kecilnya.
Bulumu bersih sekali, wajahmu imut, andai saja aku bisa mengelusmu.
“Meong…” Rintihan khas cipus terdengar sayup di telingaku.
“Cipus…” Panggilku dengan nada bergetar, aku mengikuti langkah kecilnya.
Bulumu bersih sekali, wajahmu imut, andai saja aku bisa mengelusmu.
Cipus membawaku ke teras rumah, nampak kau sedang duduk-duduk bersantai menjemur diri. Diriku dan adik sepupuku membelaimu hangat, memberimu makan, membuatkanmu alas tidur. Ah itulah pertemuan pertama kita… hangat sekali rasanya…
Kamu kembali membawaku, kali ini kulihat diriku sedang pulang bermain. Ih, aku begitu kusam..
“Ndhuk, sini! Liat kelakuan kucingmu.. berak dimana-mana.” Panggil ayahku.
“Aduh… Cipus.. kamu nakal sekali..” Aku memukulmu pelan.
“Maaf ya yah…”
Saat-saat inilah aku benar-benar kesal kepadamu, ini bukan kejadian satu kali malah berkali-kali.
“Ndhuk, sini! Liat kelakuan kucingmu.. berak dimana-mana.” Panggil ayahku.
“Aduh… Cipus.. kamu nakal sekali..” Aku memukulmu pelan.
“Maaf ya yah…”
Saat-saat inilah aku benar-benar kesal kepadamu, ini bukan kejadian satu kali malah berkali-kali.
Aku teringat gara-gara kamu nakal, kamu tak selalu diizinkan masuk rumah, aku jadi iba padamu. Cipus kembali melangkahkan ke tempat biasa kita bermain. Kulihat diriku bermain denganmu, tertawa riang melepas penat sepulang sekolah. Kadang saat-saat ini aku biasa curhat padamu walau kamu tak pernah paham tapi kamu seperti tahu kesedihanku sehinnga selalu membuatku tersenyum.
“Meoong…”
“Ok, mari kita lanjutkan.”
“Meoong…”
“Ok, mari kita lanjutkan.”
Kini aku sudah berada di kamar, kulihat diriku terbaring lemas. Kamu menemaniku, sampai terlelap. Aku terus menangis di sampingmu waktu itu, terkadang kamu mengelusku. Ah disaat inilah aku tak sanggup menahan derai air mata.
Kini tiba diwaktu terakhir kita bermain, disini air mataku mengalir sederas air terjun. Kulihat dirimu memanjat pagar yang tinggi, kamu sangat lama hingga aku memanggilmu. Biasanya kamu langsung mengikutiku, aku kesal aku melemparimu batu untung kamu tidak terkena. Akhirnya ketika aku melangkah pergi kamu mengikutiku. Aku mengajakmu bermain di bak pasir, kuselimuti dirimu dengan pasir, kamu berusaha mengelak. Aku berkata, “Kamu takut ya? Kenapa takut nantinya kamu kan kalau mati juga dikubur…” aku tak sadar aku megucapkan itu…
Esok paginya kamu masih ada menungguku keluar dari rumah dan aku bergegas sekolah. Sepulang sekolah kamu tidak kujumpai tapi ini biasa, sore pasti pulang. Hingga esoknya kembali kamu belum kembali, aku berdoa agar kamu cepat kembali. Esoknya masih sama, aku mulai khawatir kamu tak pernah pergi selama ini. Aku selalu menangis memikirkanmu, aku pasrah aku berdoa pada Tuhan agar kamu kembali hidup ataupun mati. Hingga akhirnya kemarin aku menemukanmu, badanmu penuh luka, biru-biru, dan dikerubungi lalat. Aku menagis sejadi-jadinya.
“Meong… meong…”
“Ayo kita kembali…”
Aku kembali ke kamarku kamu mengantarku, aku terus melihatimu. Maafkan aku Cipus segala kesalahanku, maafkan aku ketika kadang aku tak memeberimu makan, terimakasih kamu telah menemani suka dukaku.
“Meoong…” Cipus mengelus kakiku serasa ia mengetahui apa yang aku pikirkan, terasa lembut bulunya. Aku menghapus air mataku, aku tersenyum.
“Baiklah, aku takkan menangis lagi. Kamu baik-baik ya… Goodbye cipus…”
“Meong… meong…”
“Ayo kita kembali…”
Aku kembali ke kamarku kamu mengantarku, aku terus melihatimu. Maafkan aku Cipus segala kesalahanku, maafkan aku ketika kadang aku tak memeberimu makan, terimakasih kamu telah menemani suka dukaku.
“Meoong…” Cipus mengelus kakiku serasa ia mengetahui apa yang aku pikirkan, terasa lembut bulunya. Aku menghapus air mataku, aku tersenyum.
“Baiklah, aku takkan menangis lagi. Kamu baik-baik ya… Goodbye cipus…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar