Aku Menatap keluar jendela, kusandarkan tubuhku di sisi jendela. Hujan sore ini begitu deras, udara dingin masuk lewat ventilasi jendela. Aku melipat tanganku di dada, lalu aku berjalan ke sofa membaringkan tubuhku. Jean Muncul dengan 2 cangkir coklat panas di tangannya kemudian meletakkan dua cangkir coklat panas itu di meja.
“Minum dulu Fla…” ucap Jean, aku merubah posisiku menjadi duduk, ku raih secangkir coklat panas dan meneguknya sedikit. Masih terasa terlalu panas di lidahku. Namun terasa hangat di tenggorokanku. Jean duduk di sisiku.
“Fla kamu benar-benar mau ikut pendakian itu?” tanya Jean.
“Ya…” jawabku pelan.
“Tapi Fla kamu kan nggak pernah mendaki.” Ucap Jean.
“Iya, tapi ini satu satunya jalan untuk buktikan pada Gian kalau aku juga mampu.” Ucapku. Lalu kembali meneguk minuman coklat di depanku.
“Buktikan untuk apa? Apa kamu kira dengan itu dia akan kembali padamu? Nggak Fla, Gian sudah benar-benar meninggalkanmu.” Ucap jean.
“Dia memilih Pian bukan hanya karena mampu untuk mendaki bersamanya tapi pasti ada alasan yang lain. Jangan kamu korbankan dirimu untuk hal yang sia-sia.” Ucap Jean lagi, aku diam. Aku sandarkan tubuhku di sofa dan menutup mataku.
“Dasar keras kepala…” ucap Jean yang kelihatan kesal. Maaf Je… ini adalah keputusanku.
“Fla kamu benar-benar mau ikut pendakian itu?” tanya Jean.
“Ya…” jawabku pelan.
“Tapi Fla kamu kan nggak pernah mendaki.” Ucap Jean.
“Iya, tapi ini satu satunya jalan untuk buktikan pada Gian kalau aku juga mampu.” Ucapku. Lalu kembali meneguk minuman coklat di depanku.
“Buktikan untuk apa? Apa kamu kira dengan itu dia akan kembali padamu? Nggak Fla, Gian sudah benar-benar meninggalkanmu.” Ucap jean.
“Dia memilih Pian bukan hanya karena mampu untuk mendaki bersamanya tapi pasti ada alasan yang lain. Jangan kamu korbankan dirimu untuk hal yang sia-sia.” Ucap Jean lagi, aku diam. Aku sandarkan tubuhku di sofa dan menutup mataku.
“Dasar keras kepala…” ucap Jean yang kelihatan kesal. Maaf Je… ini adalah keputusanku.
“Fla untuk apa kamu ikut pendakian itu, ntar kamu nggak sanggup. Mendaki itu capek lo… apalagi pendakian kali ini rutenya bukan jalan biasa.” ucap Gian.
“Apa pedulimu.” Ucapku ketus.
“Sudahlah Fla jangan seperti anak-anak gini. Aku minta maaf untuk keputusanku, tapi ini tidak akan mengubah semuanya.” Ucap Gian, aku hanya diam.
“Kamu memang keras kepala.” Ucap Gian lalu pergi meninggalkanku. Aku tahu kamu masih peduli padaku ucapku dalam hati. Tapi bukan itu keinginan terbesarku…
“Apa pedulimu.” Ucapku ketus.
“Sudahlah Fla jangan seperti anak-anak gini. Aku minta maaf untuk keputusanku, tapi ini tidak akan mengubah semuanya.” Ucap Gian, aku hanya diam.
“Kamu memang keras kepala.” Ucap Gian lalu pergi meninggalkanku. Aku tahu kamu masih peduli padaku ucapku dalam hati. Tapi bukan itu keinginan terbesarku…
Tiga hari lagi pendakian itu, aku mendesah pelan. Sudah 3 bulan aku dan Gian putus, tapi sudah lama sebelum kami putus aku tahu kalau Gian pacaran dengan Pian. Sejak aku dengar isu itu aku menanti keberanian Gian untuk memutuskanku. Aku ingin tahu apa alasan Gian dan bagiku alasannya nggak masuk akal. Apakah cinta selalu melihat kekurangan yang dicintainya? Itu hanya alasan Gian. Dia pasti bosan denganku seperti aku juga bosan dengan kebohongannya. Aku tidak mengharapkan apa-apa lagi darinya.
Aku Memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai koridor kampus karena tidak sengaja terjatuh dari bukuku. Dan aku melihat sepasang sepatu yang tak asing di depanku. Aku menaikkan wajahku Fabian… Dia menatapku tanpa senyuman, aku bangkit dan tersenyum.
“Kapan sampai sini bi?” tanyaku.
“Tadi pagi…” jawabnya singkat.
“Langsung kuliah?” tanyaku, dia diam.
“Sebenarnya aku belum ada rencana pulang kemari. Tapi saat kudengar kamu ikut pendakian, jantungku rasanya berhenti.” Ucap Fabian.
“Siapa yang kasi tahu?” tanyaku.
“Nggak penting siapa yang kasi tahu. Bisa nggak sih Fla kamu itu tidak keras kepala.” Ucap fabian, aku diam. Lalu Fabian menarik tanganku dan membawaku masuk kedalam ruangan kuliah yang kosong.
“Fla, kamu mau cari perhatian Gian?” tanyanya.
“Nggak tahu.” Jawabku asal. Fabian menatapku.
“Jadi untuk apa pendakian itu?” tanya Fabian melembut.
“Hanya untuk pembuktian.” Jawabku, Fabian menatapku lekat.
“Segitu besar cintamu untuk Gian sampai perjalanan bahaya seperti ini pun kamu lakukan.” Ucap Fabian, aku diam.
“Hai… lagi interogasi ya bi?” tanya Jean yang muncul di depan pintu.
“Nggak, sudah selesai…” ucap Fabian lalu berjalan keluar meninggalkanku. Jean mendekatiku.
“Apa kata Fabian?” tanya Jean.
“Cuma ngelarang aku aja sepertimu.” Jawabku.
“Terus…” ucap Jean.
“Ya… aku tetap keras kepala.” Ucapku, Jean menatapku gemes. Aku tersenyum.
“Kapan sampai sini bi?” tanyaku.
“Tadi pagi…” jawabnya singkat.
“Langsung kuliah?” tanyaku, dia diam.
“Sebenarnya aku belum ada rencana pulang kemari. Tapi saat kudengar kamu ikut pendakian, jantungku rasanya berhenti.” Ucap Fabian.
“Siapa yang kasi tahu?” tanyaku.
“Nggak penting siapa yang kasi tahu. Bisa nggak sih Fla kamu itu tidak keras kepala.” Ucap fabian, aku diam. Lalu Fabian menarik tanganku dan membawaku masuk kedalam ruangan kuliah yang kosong.
“Fla, kamu mau cari perhatian Gian?” tanyanya.
“Nggak tahu.” Jawabku asal. Fabian menatapku.
“Jadi untuk apa pendakian itu?” tanya Fabian melembut.
“Hanya untuk pembuktian.” Jawabku, Fabian menatapku lekat.
“Segitu besar cintamu untuk Gian sampai perjalanan bahaya seperti ini pun kamu lakukan.” Ucap Fabian, aku diam.
“Hai… lagi interogasi ya bi?” tanya Jean yang muncul di depan pintu.
“Nggak, sudah selesai…” ucap Fabian lalu berjalan keluar meninggalkanku. Jean mendekatiku.
“Apa kata Fabian?” tanya Jean.
“Cuma ngelarang aku aja sepertimu.” Jawabku.
“Terus…” ucap Jean.
“Ya… aku tetap keras kepala.” Ucapku, Jean menatapku gemes. Aku tersenyum.
Aku dan Jean lagi lihat fabian latihan basket sendirian di lapangan basket.
“Fla, Fabian kenapa? Kalau lihat gelagatnya dia lagi kesal banget tuh…” ucap Jean.
“Tau…” jawabku, Fabian terus bermain sendiri sampai dia berhenti dan terduduk karena lelah. Jean menarikku mendekati Fabian.
“Fabian kamu kenapa?” tanya Jean, Fabian kaget dan melihat kami berdua. Dia diam, karena terlalu serius bermain Fabian nggak menyadari kehadiran kami di sekitarnya.
“Aku hanya latihan aja.” ucap Fabian, lalu bangkit dan membawa bolanya keluar dari lapangan. Jean dan aku mengikuti Fabian dari belakang.
“Kamu kenapa sebenarnya?” tanya Jean penasaran, Fabian berhenti dan berbalik lalu menatap Jean.
“Kamu tanya aja sama temanmu ini.” Ucap Fabian, sambil menunjukku. Aku kaget, Jean menoleh padaku.
“Loh ada apa Fla?” tanya jean, aku mengeditkan bahuku tanda tak mengerti perkataan Fabian. Fabian mengusap wajahnya dengan tangannya.
“Kenapa hanya karena Gian, kamu mau berkorban segitu besar.” Ucap Gian kesal sambil beralih menatapku. Jean bingung, aku menatap Fabian.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Dia nggak peduli sama kamu Fla…” ucap Fabian.
“Lalu kamu peduli?” tanyaku, Fabian diam.
“Apa aku salah untuk mempertahankan cintaku?” tanyaku lagi.
“Masih ada cinta lain yang lebih tulus padamu dari pada cinta Gian padamu.” Ucap Fabian, suaranya meninggi.
“Siapa? Selama ini nggak ada selain Gian.” Ucapku dengan suara yang meninggi juga.
“Ada, aku Fla…” ucap Fabian terhenti, aku diam. Jean menatap Fabian kaget, Fabian juga kaget dengan kata-katanya.
“Kamu mencintaiku?” tanyaku, Fabian diam lalu…
“Iya…” jawab Fabian pelan.
“Sejak kapan?” tanyaku.
“Sejak aku menjadi temanmu.” Jawabnya.
“Kenapa kamu nggak pernah katakan?” tanyaku.
“Karena kalau aku katakan, aku takut kamu kan pergi dari hidupku. Ku pikir dengan tetap jadi temanmu pun itu sudah cukup.” Ucap Fabian.
“Selama ini aku menunggumu Fabian tapi kamu hanya diam, lalu ku putuskan menerima Gian. Tapi jujur aku nggak pernah bisa lupa pada perasaanku padamu.” Ucapku, Fabian menatapku tak percaya.
“Sampai aku putus dari Gian, kamu begitu membuatku penasaran sampai ide ini aku dapat. Aku yakin kalau ada cinta di hatimu kamu pasti datang untuk mencegahku. Tapi aku nggak cuma ingin itu, aku ingin tahu perasaanmu.” Ucapku lagi.
“Jadi…” ucapnya terputus.
“Jadi aku nggak benar ingin ikut pendakian itu, aku cuma ingin lihat reaksimu.” Ucapku, Fabian langsung memelukku.
“Bodoh…” ucapnya.
“Ya.. aku bodoh, tapi aku nggak tahu harus gimana supaya kamu bicara.” Ucapku.
“Maaf…” ucapnya lalu melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Jadi…, kamu mau jadi pacarku?” tanya Fabian, wajah kesalnya sirna.
“Iya…” jawabku sambil senyum.
“Pendakian itu tidak benar?” tanya Fabian.
“Ya…” jawabku.
“Hallo…ada orang lo disini…” Jean melambai pada kami berdua. Aku dan Fabian tersenyum. Lalu Jean bertepuk tangan.
“Tapi nggak apa-apa, anggap aja ngak ada orang lain disini selain kalian.” Ucap Jean lagi, aku menoleh pada Jean yang sedang menatap kami berdua.
“Kalau begini kan bagus, semua aman.” Ucap Jean tertawa. Aku senyum, Fabian merangkul bahuku. Akhirnya Fabian bicara juga.
“Fla, Fabian kenapa? Kalau lihat gelagatnya dia lagi kesal banget tuh…” ucap Jean.
“Tau…” jawabku, Fabian terus bermain sendiri sampai dia berhenti dan terduduk karena lelah. Jean menarikku mendekati Fabian.
“Fabian kamu kenapa?” tanya Jean, Fabian kaget dan melihat kami berdua. Dia diam, karena terlalu serius bermain Fabian nggak menyadari kehadiran kami di sekitarnya.
“Aku hanya latihan aja.” ucap Fabian, lalu bangkit dan membawa bolanya keluar dari lapangan. Jean dan aku mengikuti Fabian dari belakang.
“Kamu kenapa sebenarnya?” tanya Jean penasaran, Fabian berhenti dan berbalik lalu menatap Jean.
“Kamu tanya aja sama temanmu ini.” Ucap Fabian, sambil menunjukku. Aku kaget, Jean menoleh padaku.
“Loh ada apa Fla?” tanya jean, aku mengeditkan bahuku tanda tak mengerti perkataan Fabian. Fabian mengusap wajahnya dengan tangannya.
“Kenapa hanya karena Gian, kamu mau berkorban segitu besar.” Ucap Gian kesal sambil beralih menatapku. Jean bingung, aku menatap Fabian.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Dia nggak peduli sama kamu Fla…” ucap Fabian.
“Lalu kamu peduli?” tanyaku, Fabian diam.
“Apa aku salah untuk mempertahankan cintaku?” tanyaku lagi.
“Masih ada cinta lain yang lebih tulus padamu dari pada cinta Gian padamu.” Ucap Fabian, suaranya meninggi.
“Siapa? Selama ini nggak ada selain Gian.” Ucapku dengan suara yang meninggi juga.
“Ada, aku Fla…” ucap Fabian terhenti, aku diam. Jean menatap Fabian kaget, Fabian juga kaget dengan kata-katanya.
“Kamu mencintaiku?” tanyaku, Fabian diam lalu…
“Iya…” jawab Fabian pelan.
“Sejak kapan?” tanyaku.
“Sejak aku menjadi temanmu.” Jawabnya.
“Kenapa kamu nggak pernah katakan?” tanyaku.
“Karena kalau aku katakan, aku takut kamu kan pergi dari hidupku. Ku pikir dengan tetap jadi temanmu pun itu sudah cukup.” Ucap Fabian.
“Selama ini aku menunggumu Fabian tapi kamu hanya diam, lalu ku putuskan menerima Gian. Tapi jujur aku nggak pernah bisa lupa pada perasaanku padamu.” Ucapku, Fabian menatapku tak percaya.
“Sampai aku putus dari Gian, kamu begitu membuatku penasaran sampai ide ini aku dapat. Aku yakin kalau ada cinta di hatimu kamu pasti datang untuk mencegahku. Tapi aku nggak cuma ingin itu, aku ingin tahu perasaanmu.” Ucapku lagi.
“Jadi…” ucapnya terputus.
“Jadi aku nggak benar ingin ikut pendakian itu, aku cuma ingin lihat reaksimu.” Ucapku, Fabian langsung memelukku.
“Bodoh…” ucapnya.
“Ya.. aku bodoh, tapi aku nggak tahu harus gimana supaya kamu bicara.” Ucapku.
“Maaf…” ucapnya lalu melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Jadi…, kamu mau jadi pacarku?” tanya Fabian, wajah kesalnya sirna.
“Iya…” jawabku sambil senyum.
“Pendakian itu tidak benar?” tanya Fabian.
“Ya…” jawabku.
“Hallo…ada orang lo disini…” Jean melambai pada kami berdua. Aku dan Fabian tersenyum. Lalu Jean bertepuk tangan.
“Tapi nggak apa-apa, anggap aja ngak ada orang lain disini selain kalian.” Ucap Jean lagi, aku menoleh pada Jean yang sedang menatap kami berdua.
“Kalau begini kan bagus, semua aman.” Ucap Jean tertawa. Aku senyum, Fabian merangkul bahuku. Akhirnya Fabian bicara juga.
Cerpen Karangan: Imelda Oktavera