Saya anak pertama dari keluarga yang berkecukupan ayah saya bekerja sebgai pengusaha di perbankan yangcukup berpengaruh di daerahnya. Nama saya Indah saya sudah menikah tapi atas paksaan ayah saya,sungguh tidak ada rasa enak enaknya menikah dengan yang di cintai. Tapi walaupun begitu aku sudahmenikah kurang lebih delapan tahun.
Suami saya, Bramono, adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialisasi bedah di Rumah Sakit
pemerintah di kota kami. Terlihat hebat memang. Tapi sayangnya keluarganya ternyata memiliki bibit
keturunan “orang stress”.
Ini yang menyebabkan saya mengambil keputusan untuk lebih baik mengadopsi daripada memiliki keturunan
‘stress’.
Sikapnya sebagai suami sama sekali tidak mencerminkan seorang suami. Terlebih saat dia menyadari bahwa
dirinya adalah kesayangan ayah saya, mertuanya. Beberapa alasan ayah saya sangat menyayanginya adalah
karena suami saya adalah seorang dokter dan (katanya) adalah keturunan orang terhormat.
Terhormat? Menjaga nama baik diri sendiri saja tidak bisa, apalagi nama baik keluarga dan rumah
tangga? Sudah cukup lama saya bertahan menjaga nama baik keluarga, hingga akhirnya saya menyadari
bahwa ada pihak ketiga yang mengganggu rumah tangga kami.
Namanya Erna. Dia seorang mahasiswi kedokteran hewan yang menjadi gundik suami saya untuk sekian tahun
lamanya. Sama sekali tidak ada yang menarik dari dirinya. Kalau boleh saya menyombongkan diri,
perbedaan saya dan dirinya ibarat langit dan bumi. Entah apa yang diinginkan suami saya dari dirinya.
Bukan hanya nama baik rumah tangga kami yang tercoreng, tapi juga nama baik orang tua saya. Dia
membawa ‘gundik’nya itu dengan leluasa menggunakan kendaraan pribadi ayah saya, karena memang ia belum
mampu memiliki sebuah mobil. Bahkan untuk membeli bautnya pun mungkin masih meminta uang dari saya.
Di tengah kebingungan, saya mendaftarkan diri untuk mengikuti program Magister Manajemen yang baru
saja dibuka di sebuah universitas negAnjar di kota saya. Di sini saya banyak menjumpai teman baru.
Kejenuhan dan kebingungan saya mulai sedikit terobati dengan aktivitas belajar baik di kampus maupun
di luar.
Entah angin darimana yang berhembus, saya mendengar bahwa salah seorang teman kuliah saya bertempat
tinggal di daerah perumahan yang sama dengan Erni. Tiba-tiba timbul kembali rasa penasaran terhadap
‘gundik’ suami saya itu. Ibarat wartawan, saya pun mulai melancarkan beberapa pertanyaan daerah
seputar perumahan tersebut.
Namanya Anjar. Begitu setidaknya ia dipanggil. Pertama memang ia menaruh curiga terhadap pertanyaan
saya. Saya berusaha membohonginya agar aib rumah tangga saya tidak terbongkar. Namun karena rasa
penasarannya yang begitu besar, saya tidak dapat lagi menutupinya.
Terlebih dia begitu jelas memberi informasi mengenai dimana lokasi tepatnya Erni tinggal dan keadaan
sekelilingnya. Hingga akhirnya saya meminta tolong untuk sesekali mengintip apakah suami saya pernah
berkunjung ke sana. Akibatnya, saya sering berhubungan dengannya untuk mendapatkan informasi lebih darinya.
Dari sekedar menerima informasi dan meminta tolong lagi, akhirnya saya tidak dapat menahan lagi
penderitaan yang saya alami. Saya akhirnya sering berkeluh kesah mengenai keadaan rumah tangga saya
yang sebenarnya.
Entah kenapa saya lakukan ini. Anjar adalah totally stranger, yang seharusnya sama sekali tidak
mengetahui kondisi intern rumah tangga kami. Tapi bagaimana lagi?
Saya sudah sering berkeluh kesah dengan orang tua mengenai suami saya. Mereka hanya menyuruh saya
untuk bersabar. Dengan adik saya, mereka memang merasa kasihan kepada saya, namun mereka juga tidak
bisa berbuat banyak karena kesibukan bisnisnya.
Saya juga pernah berkeluh kesah dengan bibi (tante) saya yang belum menikah, namun dengan cepat dia
menjawab,
“Waduh, janganlah bicara itu kepada saya, saya tidak sama sekali tidak tahu masalah seperti itu!”
Kemana lagi saya harus berkeluh?
Pada awal Cerita saya kepada Anjar, dia memang menganjurkan agar saya berbicara kepada orang tua saya.
Namun itu merupakan anjuran basi bagi saya. Anjar tidak putus asa. Dia terus memberi dukungan secara
moral. Yang membuat diri saya seolah semakin tenang berada di sisinya untuk mendengarkan dan menerima
dukungannya.
Kemudian dia pun membuka rahasia mengenai dirinya. Mengenai siapa dirinya sebenarnya dan bagaimana
kondisi orang tuanya. Dari situ saya melihat beberapa kemiripan diantara kami berdua. Saya pun mulai
comfortable apabila sudah berada di sisinya. Dan pertemuan pun sering kami atur. Entah itu berkedok
kelompok belajar atau lainnya.
Hingga akhirnya, entah kenapa tumbuh rasa suka saya kepada dirinya, dan di suatu saat Anjar
memberanikan diri untuk menyentuh tangan saya dan memegangnya.
Saya merasakan getaran yang ia jalarkan ke diri saya. Akhirnya tanpa saya sangka, ia mengutarakan
perasaannya. Perasaan yang sama dengan apa yang saya rasakan terhadap dirinya.
Singkat Cerita, kami mulai sepakat saling mengasihi. Dan kami pun mulai secara rutin bertemu untuk
berbagi kasih. Walau pun hanya sebatas di dalam mobil saya.
Kekagetan saya yang berikutnya adalah sewaktu Anjar tiba-tiba mencium bibir saya. Lucu rasanya saya
mengenang kejadian tersebut. Seolah saya adalah seorang gadis yang baru pertama kali dicium oleh pria.
Saya tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, saya memang mencintainya. Di sisi lain, saya sudah
menikah dan bersuami.
Kembali dia melayangkan kecupan dibarengi dengan sedikit lumatan pada bibir saya. Saya tetap tidak
berkutik. Hingga akhirnya dia bertanya,”Kenapa tidak dibalas?” Setelah kami saling tatap untuk
beberapa saat. Akhirnya….. saya pun membalas lumatan bibirnya.
Kisah kasih kami terus berjalan dengan sedikit bumbu saling cemburu apabila saya terkesan mulai
dendengan suami saya, atau saya mendengar isu bahwa Anjar berkenalan dengan seorang gadis. Tapi itu
semua tetap tidak mempengaruhi cinta kami.
Percumbuan kami semakin hangat. Dia pun mulai berani menggerayangi bagian-bagian tubuh saya. Baik
dengan menggunakan tangannya atau dengan mulutnya.
Buah dada saya yang berukuran 36B ini sudah sering kali menjadi sasaran empuk mulutnya. Dan saya
sangat menikmatinya. Saya pun sering mencumbu dadanya yang lapang, dan sesekali mempermainkan mulut
dan lidah saya di pentilnya.
Dia pun sangat menikmatinya. Hingga akhirnya permainan kami mengalami peningkatan. Jemarinya mulai
terampil menyusup kepada celana dalamnya dan mempermainkan klitoris saya.
Saya mulai merasakan geli dan nikmat bercampur menjadi satu, terlebih apabila ia kombinasikan dengan
mencumbu tubuh saya.
Kami saling bergantian mencumbu hingga akhirnya pun saya hanyut dalam kebiasaan melakukan oral sex
terhadapnya. Dia begitu surprise saat saya melakukan oral. Anjar tidak menyangka, seperti halnya saya.
Saya bahkan sempat terheran pada diri saya sendiri. Banarkah saya melakukan ini? Pertama kali saya
melakukan oral sex terhadapnya, memang saya kikuk sekali. Anjar hanya membuka sedikit celana dalamnya
hingga kepala penisnya tersembul.
Entah kenapa, saat saya sedang mencumbu tubuhnya, saya sangat terdorong untuk mencumbu penisnya dan
memasukkannya ke dalam mulut saya.
Dan sejak saat itu, percumbuan kami belumlah lengkap apabila saya belum melakukan oral sex
terhadapnya. Bagi saya, saya merasa memiliki hobby baru. Membuatnya nikmat melalui oral sex.
Hingga suatu saat di tengah percumbuan hebat kami dimana pakaian kami sudah hampir terbuka semua, di
jok belakang mobil saya di pelataran parkir department store “R” yang terletak di jalan yang
menggunakan nama seorang pangeran,
Dia mengangkat rok saya dan menyingkap sedikit celana dalam saya, lalu kemudian dengan cepat dan
lembutnya, Anjar mencumbu dan menyapu vagina saya dengan lidahnya. Sungguh saya dibuatnya kaget dan
bingung yang bukan kepalang. Suami saya sama sekali tidak pernah melakukan hal ini terhadap saya.
Di tengah kebingungan itu, saya sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Saya mencintainya, tapi saya
sama sekali tidak menyangka hingga sejauh ini kisah asmara kami. Begitu lembutnya dia mempermainkan
klitoris saya dengan sapuan lidahnya,
Hingga akhirnya rasa bingung itu lenyap ditelan rasa geli dan nikmat yang sudah menjalar di sekujur
tubuh saya. Saya hanya bisa meremas rambut kepalanya, menekan kepalanya lebih dekat di vagina saya
yang kian membasah. Kenikmatan itu juga yang akhirnya membuat saya mengangkat kedua paha dengan lebih
membuka kangkangan keduanya.
Setelah kurang lebih lima belas menit dia menjilati klitoris saya dengan berbagai cara, saya
disuruhnya rebah di jok belakang dan segera dia menindih saya. Rupanya Anjar telah menurunkan
celananya tanpa sepengetahuan saya sewaktu saya masih melayang-layang.
Dengan cepat Anjar menyodorkan penisnya menuju bibir vagina saya. Dan mempermainkan kepala penisnya di
bibir vagina saya. Saya kembali menggelinjang. Sama sekali tidak terbesit di benak saya, bahwa kami
masih bermain di area parkir sebuah pusat belanja yang terletak di jalan “D”. Yang suatu saat dapat
dipergoki satpam.
Kembali saya tersentak hebat saat kepala penisnya menggesek-gesek klitoris saya dengan agak kuat.
Tubuh saya mulai bergetar hebat. Apa ini yang dinamakan luapan birahi? Karena vagina saya yang sudah
basah sejak tadi, Anjar tidak mendapat kesulitan untuk akhirnya dengan cepat dan lembut menyelipkan
penisnya di liang vagina saya.
Saya kembali tersentak dalam sejuta kenikmatan. Sebuah benda yang besar dan panjang menyelinap masuk
secara perlahan, sehingga menimbulkan gesekan halus pada klitoris saya. Tubuh saya mengejang sesaat.
Tiba-tiba muncul rasa heran yang amat sangat dalam diri saya.
Selama ini saya tidak pernah merasakan nikmatnya sex dengan suami saya. Yang saya tahu selama ini, sex
adalah menyakitkan. Saya hanya menjadi mesin pemuas nafsu sex suami saya tanpa peduli apakah saya
menikmatinya atau tidak. Nikmat sex seolah-olah hanya dongeng belaka di telinga saya.
Tapi Anjar… seolah-olah dia kini memberikan bukti bahwa nikmat sex itu ada. Dan nyata.
Kini saya sadar sepenuhnya. Saya semakin mencintainya. Saya pun kembali larut dalam kebahagiaan
nikmatnya sex. Saya pun menyambut cintanya, juga menyambut goyangannya tidak kalah hebat. Seolah saya
ingin menumpahkan dan mencapai kenikmatan sex yang baru saya rasakan dan ingin memberitahunya untuk
bersama menikmati sex ini sepuas-puasnya.
Entah berapa lama kami bercinta dan saling berpacu dalam nafsu birahi di dalam mobil Genio berwarna
gelap. Akhirnya dia membiarkan saya selesai terlebih dahulu. Sungguh saya tidak menyangka bahwa
kenikmatan sex itu begitu indah, menyenangkan dan memuaskan.
Saya pun dibuatnya lemas dan tidak bertenaga, terkapar di jok mobil. Telentang tidak berdaya, dengan
rasa sejuta bahagia dan kepuasan yang tidak ternilai. Sementara Anjar akhirnya mempercepat ritme
ayunan pinggulnya dan saya merasakan adanya semburan hangat di dalam vagina saya. Semburan sperma
Anjar.
Saya sempat khawatir akan kehamilan akibat hubungan kami. Tapi Anjar segera berbisik bahwa dia ingin
saya hamil dan membesarkan anak tersebut. Berangsur-angsur kekhawatiran saya menghilang. Di satu sisi,
keinginan saya untuk hamil bisa saja terkabul. Dan ini yang saya tunggu.
Akhirnya siasat pun diatur, apalagi golongan darah Anjar sama persis dengan suami saya. Sejak saat
itu, kami pun rutin melakukan hubungan sex untuk saling meluapkan cinta dan memuaskan nafsu birahi
kami, dimana pun kami sempat.
Bahkan pernah di ruangan kantor saya pada saat sepi, Anjar meminta saya untuk berdiri membungkuk di
tepi meja kerja saya dan dia menyetubuhi saya dari belakang dengan terlebih dahulu mengangkat rok dan
menurunkan celana saya dan kemudian mempermainkan vagina saya dengan lidahnya yang kasat.
Kini bukan saja suami saya yang berselingkuh. Saya pun turut terjerumus dalam dunia perselingkuhan.
Perselingkuhan yang saya rasa adalah abadi. Apakah ini semua karena cinta sejati saya dengan Anjar?
Apakah karena awalnya kawin paksa oleh ayah saya, hingga tidak pernah ada cinta antara saya dan suami
saya? Hingga kini hubungan saya dan Anjar telah berusia dua tahun, baik hubungan komunikasi maupun
secara sexual. Kami tetap saling memperhatikan, mengasihi, menjaga dan juga saling mengisi kekurangan
satu sama lain. Seperti layaknya suami istri sejati.
Kini saya sudah tidak peduli lagi terhadap apa yang dilakukan suami saya. Anak kandung saya dari hasil
hubungan intim saya dengan Anjar dan anak angkat saya pun lebih dekat dengan Anjar ketimbang suami
saya. Entah kenapa, saya sangat berbahagia menjalani semua ini. Saya sudah menemukan cinta sejati
saya.
Untuk Anjar, apabila Anda membaca Cerita ini, saya ingin mengatakan kepada Anda bahwa kami bertiga
sangat mencintai dan mAnjarndukanmu.
Salam dari Surya, putra kandungmu dan Nindi, putri angkatku.-