Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat menilai Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) lemah dalam bekerja mendata lahan yang merupakan aset DKI, kasus salah beli lahan Cengkareng Barat adalah akibatnya. Kepala BPKAD Heru Budi Hartono mengakui bahwa lembaganya masih lemah.
"Oh ya. Kita akui saja," kata Heru di Jl H Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/6/2016).
Heru mengakui proses pendataan aset ke dalam sistem e-Aset sedang dijalankan. Setiap wilayah di DKI memasukkan staf pilihan ke BPKAD untuk mengetikkan pendataan aset terus menerus. Selain staf dari wilayah-wilayah di DKI, ada pula sekitar 300 personel Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara tetap bekerja di BPKAD.
"Memang kita akui, misalnya Dinas Pendidikan, memang banyak asetnya, perlu waktu," kata Heru.
Kasus pembelian lahan di Cengkareng Barat senilai Rp 668 miliar. Pemprov DKI membeli lahan itu dari perseorangan yang memegang Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun BPK menunjukkan bahwa lahan itu adalah milik Pemprov DKI sendiri.
Heru menyatakan, DKI hanya punya dokumen girik atas lahan di Cengkareng itu, bukan SHM. Namun itu tercatat sebagai aset DKI. Dia menyatakan banyak lahan kepunyaan DKI yang dokumennya masih berupa girik saja, belum berdokumen SHM.
"Ya banyak (lahan yang hanya bergirik saja). DKI melakukan sertifikat aset-aset itu perlu waktu juga. Waktunya adalah di BPN (Badan Pertanahan Nasional) prosesnya," kata Heru.
Heru menyatakan telah memotong proses pendaftaran aset-aset ke BPKAD sehingga lebih cepat sebelum masa kepemimpinannya. Serah terima aset dari pihak swasta haruslah sudah tinggal masuk pencatatan saja, proses pengurusan ke BPN harus dilakukan pihak swasta sebelum aset itu diserahterimakan ke Pemprov DKI. Contohnya taman hasil Corporate Social Responsibility (CSR) pihak swasta yang diserahkan ke DKI.
"Di zaman saya sekarang, saya potong (prosesnya supaya lebih cepat)," kata Heru.
Heru merasa kerja inventarisasi aset itu lemah karena pengaruh dibubarkannya Biro Perlengkapan pada 2008 dan kemudian kerja-kerjanya dilebur ke BPKAD. Heru menilai, seharusnya Biro Perlengkapan itu tak perlu dibubarkan. Pembubaran biro itu membikin pengarsipan jadi bermasalah.
"Ketika dilebur ke BPKAD itu jadilah ada sedikit permasalahan administrasi. Sebagian ada yang dikirim ke badan arsip," kata Heru.
Kini, BPKAD terus memproses inventarisasi aset ke dalam sistem e-Aset. Dinas-dinas pemilik aset yang perlu didaftarkan ke BPKAD perlu melapor bila ingin aset itu terdaftar.
"Kalau dinasnya memiliki aset, maka dinasnya yang mengajukan," kata Heru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar