Nina berjalan lunglai menyusuri trotoar. Hari ini ia harus pulang berjalan kaki dari sekolah karena nino, pacarnya harus mengantar risa sahabat nino yang sedang sakit. Nino sebenarnya meminta nina menunggu sebentar di sekolah tapi siswi kelas 3 sma nusa itu takmau ia lebih memilih berjalan. Entahlah, mungkin ia cemburu melihat nino sangat perhatian pada risa.
“kenapa sih no, kamu perhatian banget sama risa? Aku tau dia Cuma sahabatmu tapi kenapa sampai segitunya? Kenapa kamu gak ngertiin perasaanku?” gumam nina sambil berjalan sesekali ia menendang-nendang kerikil yang ditemuinya untuk melampiaskan sakit hatinya.” udah panas, jauh, gak ada taksi, gak ada ojek.. teganya kamu sama aku no.. rumah aku jauh no, lewat jalan-jalan besar yang super panas.. risa Cuma di belakang sekolah tapi kenapa kamu lebih milih antar dia? Dia Cuma pusing…” nina menendang kerikil. Akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Rumahnya tak besar apalagi mewah. Hanya gubuk sederhana bila dibandingkan tetangga sekitarnya. Ayah nina hanya seorang buruh yang bekerja serabutan bila ada yang meminta. Ibunya seorang ibu rumah tangga dan ia hanya memiliki satu adik perempuan yang sekarang menduduki kelas 5 sd. “asalamualaikum” salam nina lalu melepas sepatu dan bergegas ke kamar. Ia langsung mengganti pakaiannya dengan wajah masih lemas.. setelah mandi ia masuk ke kamar dan tak keluar lagi hingga malam.
“nina… kamu kenapa?” mama tiba-tiba masuk.
“gak papa kok ma, Cuma capek ajah.” jawab nina tersenyum kecil.
“gak mungkin, kamu gak biasanya begitu.. kamu belum makan lo.. ayo makan dulu ntar maagnya kambuh lagi” nasihat mamanya.
“besok aja ya ma, sekalian. Nina capek banget pengen tidur..” nina berbohong.
“nanti sakit lo perutnya..” mama mengingatkan.
“enggak-enggak, percaya deh nina gak kan kenapa-kenapa kok.. cius deh,” nina meyakinkan.
“ya udah.. kamu bersiap tidur.. jangan lupa baca do’a yaa..” kata mama berlalu.
“iya ma,” jawab nina masih lemas. Dalam hati ia menyesal telah membohongi mamanya, sebenarnya ia bukan hanya capek namun tak selera hatinya masih tak tenang ingga tak enak makan. Nina tak ingin berfikir lagi ia langsung bersiap dan tidur.
“kenapa sih no, kamu perhatian banget sama risa? Aku tau dia Cuma sahabatmu tapi kenapa sampai segitunya? Kenapa kamu gak ngertiin perasaanku?” gumam nina sambil berjalan sesekali ia menendang-nendang kerikil yang ditemuinya untuk melampiaskan sakit hatinya.” udah panas, jauh, gak ada taksi, gak ada ojek.. teganya kamu sama aku no.. rumah aku jauh no, lewat jalan-jalan besar yang super panas.. risa Cuma di belakang sekolah tapi kenapa kamu lebih milih antar dia? Dia Cuma pusing…” nina menendang kerikil. Akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Rumahnya tak besar apalagi mewah. Hanya gubuk sederhana bila dibandingkan tetangga sekitarnya. Ayah nina hanya seorang buruh yang bekerja serabutan bila ada yang meminta. Ibunya seorang ibu rumah tangga dan ia hanya memiliki satu adik perempuan yang sekarang menduduki kelas 5 sd. “asalamualaikum” salam nina lalu melepas sepatu dan bergegas ke kamar. Ia langsung mengganti pakaiannya dengan wajah masih lemas.. setelah mandi ia masuk ke kamar dan tak keluar lagi hingga malam.
“nina… kamu kenapa?” mama tiba-tiba masuk.
“gak papa kok ma, Cuma capek ajah.” jawab nina tersenyum kecil.
“gak mungkin, kamu gak biasanya begitu.. kamu belum makan lo.. ayo makan dulu ntar maagnya kambuh lagi” nasihat mamanya.
“besok aja ya ma, sekalian. Nina capek banget pengen tidur..” nina berbohong.
“nanti sakit lo perutnya..” mama mengingatkan.
“enggak-enggak, percaya deh nina gak kan kenapa-kenapa kok.. cius deh,” nina meyakinkan.
“ya udah.. kamu bersiap tidur.. jangan lupa baca do’a yaa..” kata mama berlalu.
“iya ma,” jawab nina masih lemas. Dalam hati ia menyesal telah membohongi mamanya, sebenarnya ia bukan hanya capek namun tak selera hatinya masih tak tenang ingga tak enak makan. Nina tak ingin berfikir lagi ia langsung bersiap dan tidur.
Paginya nino sms padanya bahwa ia tak menjemput nina hari ini karena nino di minta menemani risa mencari buku sebelum berangkat sekolah. Betapa malas nina membacanya. Ingin sekali ia tak berangkat sekolah hari ini namun ia teringat pengorbanan orang tuanya lebih penting untuk tak disia-siakan. Ia segera bersiap dan berangkat. Sampai di sekolah ia berusaha untuk tetap biasa. Ia terus menahan cemburunya dan berusaha berfikir positif bahwa risa hanya sahabat nino. Namun ia tak tahan saat melihat nino di parkiran sedang merangkul risa sambil bercanda tawa. Nina yang tak tahan melihatnya langsung berlari ke kelas. Tanpa sengaja nino melihatnya dan mengejar nina.
“nina,” sapa nino lembut melihat nina duduk menutup rapat mukanya. Nino hafal betul ketika nina begitu artinya nina sedang menahan tangis. “nina, aku mau ngomong..” nino mendekat. Nina tetap tak merespon. “na, buka donk tangannya.. kamu kenapa?” tanya nino memegang tangan nina lembut berusaha membuka tangan yang menutupi wajah.
“aku gak papa.” jawab nina singkat.
“kenapa kamu gitu kalau gak papa?” tanya nino lagi.
“aku bilang aku gak papa. Tolong tnggalin aku sendiri aku lagi pengen sendiri no,” ucap nina masih menutupi wajahnya.
“gak bisa. Aku pacar kamu na, kenapa kamu gak mau cerita ke aku? Kamu kenapa?” tanya nino bersikeras.
“cukup no, aku pengen sendiri. Jangan ikutin aku..” nina beranjak pergi. Namun nino mencegah dengan berdiri menghalang-halangi nina. “nino..! biarin aku pergi,” nina mendorong nino dan pergi namun nino menahan lengannya. “nino, pliss lepasin, aku pengen sendiri.” nina memperjelas kata-katanya. Air matanya hampir menetes melihat wajah nino, ia terbayang saat nino di parkiran bersama risa.
“na, kamu kenapa sih? Kenapa kamu gakmau natap aku..? apa salahku na..?” tanya nino menatap nina dalam-dalam. Nina masih menunduk. “na, jawab aku na..?” nino menggoyangkan bahu nina.
“no, aku tau risa sahabat kamu, aku tau kamu Cuma anggep dia sahabat tapi jujur aku gak sanggup kalo persahabatan kalian semesra itu..” nina mulai menangis.
“maksudnya? ak..aku gak ngerti.” kata nino bingung.
“no, rumah risa dan aku jauhan aku, dia juga di jemput sopirnya tapi kenapa kamu lebih milih anter dia? Kamu gak ngertiin perasaan aku? Kamu gak khawatir sama aku kalau ada apa-apa sama aku..? lagian risa Cuma pusing no, sedangkan aku.. sakit hati..! mungkin aku berlebihan tapi inilah aku, aku lebih sakit lagi lihat kamu pagi-pagi dah mesra gitu sama risa..” kata-kata risa terpotong.
“hei, hei, kamu ngo..” nino terhenti.
“stop no, aku belum selesai ngomong.” potong nina. “Kamu bayangin no, gimana rasanya aku ngeliat kamu dan risa bercanda mesra di situ sedangkan aku harus jalan dari rumah berusaha berfikir positif tentang kamu tapi kamu malah gak ngerti perasaan aku” nina makin tersedu.
“aku bukan sopir kamu na.. wajar aku gak antar jemput kamu. Lagian baru sekali ini kan?” tanya nino.
“iya no, aku sadar aku bukan siapa-siapa kamu yang berhak ngatur kamu..” nina makin menangis.
“siapa yang bilang kamu bukan siapa-siapa aku, kamu pacar aku. Apa kamu dah gak anggep hubungan ini lagi?” tanya nino sedikit keras.
“pacar? masih kamu anggep aku pacar no, tapi kamu ga ngerti perasaan aku,” nina meminta penjelasan.
“na, udah donk. Masa Cuma gara-gara sekali aku gak jemput dan anter kamu kamu semarah ini.” protes nino.
“aku marah bukan karena itu. Tapi karena kamu gak ngerti perasaanku. Aku Cuma minta kamu gak terlalu deket sama risa.” bantah nina.
“dia Cuma sahabatku na.” jawab nino.
“aku tau, tapi sahabat gak semesra itu..” bantah nina lagi.
“udahlah na, kamu Cuma salah faham..” kata nino berusaha membela diri. Belum nina menjawab bel berbunyi namun bukan masuk melainkan berkumpul. Ternyata ada pengumuman bahwa hari ini sampai lusa sekolah di liburkan karena guru-guru sedang ada pelatihan. Semua berhamburan pulang. Nina mengambil tas dan berjalan pulang namun sampai di gerbang nino menghentikannya.
“ayo. Aku antar.” ajak nino.
“makasih. aku bukan majikan kamu dan kamu bukan sopir aku..” jawab nina melanjutkan jalannya.
“na, ayolah jangan ngambek terus.. aku Cuma bercanda tadi.” nino menjelaskan.
“owh.. jadi gitu cara kamu becanda sama aku? Beda banget ya cara kamu becanda ma risa.” sindir nina.
“terserahlah.” nino berhenti.
“nino.. anter aku yaa… sopir aku belum dateng. Bisa sih di telvon tapi kan ada kamu apa salahnya sih kamu anter aku bentar. Mau yaa..” pinta risa. Nina benar-benar sakit hati di buatnya. Ia segera berlari menjauh. Ia tak ingin melihat atau mendengarnya. Tanpa di sangka nino mau mengantar risa sementara nina sedang sakit hati. Sampai di rumah nina langsung masuk kamar, ia menangis seharian. Kebetulan orangtua dan adiknya menginap di tempat neneknya selama seminggu kedepan karena ada acara. Alhasil nina di rumah sendirian. Ia jadi punya banyak waktu melampiaskan kesedihannya. Hingga malam nina belum juga makan. Sms/telepon dari nino tak di hiraunya ia larut dalam kesedihannya. Tiba-tiba maagnya kambuh. Ia mencari obat namun habis hingga harus keluar membelinya. Namun sampai di pintu ternyata nino datang. Nina mengurungkan niatnya dan mengunci pitu rapat-rapat. Di dalam ia menahan sakitnya yang bercampur-campur tanpa menghiraukan nino yang berteriak memanggil namanya. Nina yang tak kuat pun pingsan di lantai kamarnya. Nino nekat membuka paksa jendela kamar nina untunglah nino tak terlambat, nino segera membawa nina ke klinik depan.
“aku dimana?” tanya nina saat sadar.
“di klinik. Kamu bandel. Kenapa gak makan?udah tau punya sakit maag malah gak makan.” omel nino. Nina menangis lagi dan berlari pulang. Nino mengejar namun terlambat. Nina sudah mengunci pintu.
“nina-nina.. kenapa sih kamu segitu marahnya sama aku.” gumam nino. Tiba-tiba ia teringat jendela yang di buka paksa olehnya tadi pasti jendela itu belum bisa di kunci. Benar saja nina kesusahan menguncinya. Dengan susah payah akhirnya nino berhasil masuk. “na, plissss jangan marah lagi yaa..” pinta nino.
“udahlah no, sahabat kamu lebih penting kan?.. tinggalin aku.” kata nina masih menangis.
“na, tolonglah masak gara-gara aku anter dia kamu marah? Tapi tadi kamu gak mau ku anter.” nino masih membela diri.
“cukup no, cukup.. aku gak sanggup no.. sejak kamu sahabatan sama dia perhatian kamu gak Cuma buatku. Kasih sayangmu juga terbagi, daripada kamu duain aku kayak gini lebih baik aku relain kamu buat dia aja no..” nina lemas.
“maksud kamu?” nino bingung.
“kita putus. Biarlah kamu bahagia sama dia. Aku gak mau ganggu.. aku akan coba ikhlas.” nina membenamkan wajahnya di sela lengannya yang merangkul lutut.
“apa? putus?” tanya nino kaget.” secepat itu na? Cuma karena itu..?” tanya nino heran. Nina diam ia tak sanggup lagi menjalani semua badannya lemas tak berdaya. “ok. Kalau itu mau kamu. Kita putus. Permisi.” pamit nino masih tak percaya. Tanpa ia sadari sebenarnya nina pingsan namun belum terjatuh dari posisinya. Saat nino keluar barulah nina terkulai lemas di lantai. Sampai pagi nina belum juga sadar. Badanya lemas dan pucat, untunglah nino datang lagi untuk mengembalikan barang yang pernah nina berikan padanya namun melihat nina pingsan nino langsung membawa nina ke klinik. Untunglah nina segera sadar.
“kenapa kamu selametin aku lagi. Aku dah gak berguna buat kamu kan..” nina sadar.
“kamu kenapa sih, udahlah nih makan dulu, ntar minum obat.. barang kamu yang pernah kamu kasih aku dulu dah aku balikin kerumah kamu. Kamu jaga diri baik-baik aku ada janji sama risa.” nino berlalu. Nina tersentak, ia tak menyangka begitu cepat nino berpaling. Nina benar-benar terpukul di buatnya. Untunglah nina masih tetap kuat demi orangtuanya.
“nina,” sapa nino lembut melihat nina duduk menutup rapat mukanya. Nino hafal betul ketika nina begitu artinya nina sedang menahan tangis. “nina, aku mau ngomong..” nino mendekat. Nina tetap tak merespon. “na, buka donk tangannya.. kamu kenapa?” tanya nino memegang tangan nina lembut berusaha membuka tangan yang menutupi wajah.
“aku gak papa.” jawab nina singkat.
“kenapa kamu gitu kalau gak papa?” tanya nino lagi.
“aku bilang aku gak papa. Tolong tnggalin aku sendiri aku lagi pengen sendiri no,” ucap nina masih menutupi wajahnya.
“gak bisa. Aku pacar kamu na, kenapa kamu gak mau cerita ke aku? Kamu kenapa?” tanya nino bersikeras.
“cukup no, aku pengen sendiri. Jangan ikutin aku..” nina beranjak pergi. Namun nino mencegah dengan berdiri menghalang-halangi nina. “nino..! biarin aku pergi,” nina mendorong nino dan pergi namun nino menahan lengannya. “nino, pliss lepasin, aku pengen sendiri.” nina memperjelas kata-katanya. Air matanya hampir menetes melihat wajah nino, ia terbayang saat nino di parkiran bersama risa.
“na, kamu kenapa sih? Kenapa kamu gakmau natap aku..? apa salahku na..?” tanya nino menatap nina dalam-dalam. Nina masih menunduk. “na, jawab aku na..?” nino menggoyangkan bahu nina.
“no, aku tau risa sahabat kamu, aku tau kamu Cuma anggep dia sahabat tapi jujur aku gak sanggup kalo persahabatan kalian semesra itu..” nina mulai menangis.
“maksudnya? ak..aku gak ngerti.” kata nino bingung.
“no, rumah risa dan aku jauhan aku, dia juga di jemput sopirnya tapi kenapa kamu lebih milih anter dia? Kamu gak ngertiin perasaan aku? Kamu gak khawatir sama aku kalau ada apa-apa sama aku..? lagian risa Cuma pusing no, sedangkan aku.. sakit hati..! mungkin aku berlebihan tapi inilah aku, aku lebih sakit lagi lihat kamu pagi-pagi dah mesra gitu sama risa..” kata-kata risa terpotong.
“hei, hei, kamu ngo..” nino terhenti.
“stop no, aku belum selesai ngomong.” potong nina. “Kamu bayangin no, gimana rasanya aku ngeliat kamu dan risa bercanda mesra di situ sedangkan aku harus jalan dari rumah berusaha berfikir positif tentang kamu tapi kamu malah gak ngerti perasaan aku” nina makin tersedu.
“aku bukan sopir kamu na.. wajar aku gak antar jemput kamu. Lagian baru sekali ini kan?” tanya nino.
“iya no, aku sadar aku bukan siapa-siapa kamu yang berhak ngatur kamu..” nina makin menangis.
“siapa yang bilang kamu bukan siapa-siapa aku, kamu pacar aku. Apa kamu dah gak anggep hubungan ini lagi?” tanya nino sedikit keras.
“pacar? masih kamu anggep aku pacar no, tapi kamu ga ngerti perasaan aku,” nina meminta penjelasan.
“na, udah donk. Masa Cuma gara-gara sekali aku gak jemput dan anter kamu kamu semarah ini.” protes nino.
“aku marah bukan karena itu. Tapi karena kamu gak ngerti perasaanku. Aku Cuma minta kamu gak terlalu deket sama risa.” bantah nina.
“dia Cuma sahabatku na.” jawab nino.
“aku tau, tapi sahabat gak semesra itu..” bantah nina lagi.
“udahlah na, kamu Cuma salah faham..” kata nino berusaha membela diri. Belum nina menjawab bel berbunyi namun bukan masuk melainkan berkumpul. Ternyata ada pengumuman bahwa hari ini sampai lusa sekolah di liburkan karena guru-guru sedang ada pelatihan. Semua berhamburan pulang. Nina mengambil tas dan berjalan pulang namun sampai di gerbang nino menghentikannya.
“ayo. Aku antar.” ajak nino.
“makasih. aku bukan majikan kamu dan kamu bukan sopir aku..” jawab nina melanjutkan jalannya.
“na, ayolah jangan ngambek terus.. aku Cuma bercanda tadi.” nino menjelaskan.
“owh.. jadi gitu cara kamu becanda sama aku? Beda banget ya cara kamu becanda ma risa.” sindir nina.
“terserahlah.” nino berhenti.
“nino.. anter aku yaa… sopir aku belum dateng. Bisa sih di telvon tapi kan ada kamu apa salahnya sih kamu anter aku bentar. Mau yaa..” pinta risa. Nina benar-benar sakit hati di buatnya. Ia segera berlari menjauh. Ia tak ingin melihat atau mendengarnya. Tanpa di sangka nino mau mengantar risa sementara nina sedang sakit hati. Sampai di rumah nina langsung masuk kamar, ia menangis seharian. Kebetulan orangtua dan adiknya menginap di tempat neneknya selama seminggu kedepan karena ada acara. Alhasil nina di rumah sendirian. Ia jadi punya banyak waktu melampiaskan kesedihannya. Hingga malam nina belum juga makan. Sms/telepon dari nino tak di hiraunya ia larut dalam kesedihannya. Tiba-tiba maagnya kambuh. Ia mencari obat namun habis hingga harus keluar membelinya. Namun sampai di pintu ternyata nino datang. Nina mengurungkan niatnya dan mengunci pitu rapat-rapat. Di dalam ia menahan sakitnya yang bercampur-campur tanpa menghiraukan nino yang berteriak memanggil namanya. Nina yang tak kuat pun pingsan di lantai kamarnya. Nino nekat membuka paksa jendela kamar nina untunglah nino tak terlambat, nino segera membawa nina ke klinik depan.
“aku dimana?” tanya nina saat sadar.
“di klinik. Kamu bandel. Kenapa gak makan?udah tau punya sakit maag malah gak makan.” omel nino. Nina menangis lagi dan berlari pulang. Nino mengejar namun terlambat. Nina sudah mengunci pintu.
“nina-nina.. kenapa sih kamu segitu marahnya sama aku.” gumam nino. Tiba-tiba ia teringat jendela yang di buka paksa olehnya tadi pasti jendela itu belum bisa di kunci. Benar saja nina kesusahan menguncinya. Dengan susah payah akhirnya nino berhasil masuk. “na, plissss jangan marah lagi yaa..” pinta nino.
“udahlah no, sahabat kamu lebih penting kan?.. tinggalin aku.” kata nina masih menangis.
“na, tolonglah masak gara-gara aku anter dia kamu marah? Tapi tadi kamu gak mau ku anter.” nino masih membela diri.
“cukup no, cukup.. aku gak sanggup no.. sejak kamu sahabatan sama dia perhatian kamu gak Cuma buatku. Kasih sayangmu juga terbagi, daripada kamu duain aku kayak gini lebih baik aku relain kamu buat dia aja no..” nina lemas.
“maksud kamu?” nino bingung.
“kita putus. Biarlah kamu bahagia sama dia. Aku gak mau ganggu.. aku akan coba ikhlas.” nina membenamkan wajahnya di sela lengannya yang merangkul lutut.
“apa? putus?” tanya nino kaget.” secepat itu na? Cuma karena itu..?” tanya nino heran. Nina diam ia tak sanggup lagi menjalani semua badannya lemas tak berdaya. “ok. Kalau itu mau kamu. Kita putus. Permisi.” pamit nino masih tak percaya. Tanpa ia sadari sebenarnya nina pingsan namun belum terjatuh dari posisinya. Saat nino keluar barulah nina terkulai lemas di lantai. Sampai pagi nina belum juga sadar. Badanya lemas dan pucat, untunglah nino datang lagi untuk mengembalikan barang yang pernah nina berikan padanya namun melihat nina pingsan nino langsung membawa nina ke klinik. Untunglah nina segera sadar.
“kenapa kamu selametin aku lagi. Aku dah gak berguna buat kamu kan..” nina sadar.
“kamu kenapa sih, udahlah nih makan dulu, ntar minum obat.. barang kamu yang pernah kamu kasih aku dulu dah aku balikin kerumah kamu. Kamu jaga diri baik-baik aku ada janji sama risa.” nino berlalu. Nina tersentak, ia tak menyangka begitu cepat nino berpaling. Nina benar-benar terpukul di buatnya. Untunglah nina masih tetap kuat demi orangtuanya.
Beberapa minggu kemudian nina belum juga bisa move-on. Begitu juga nino namun nino dekat dengan risa walau nino hanya menganggap risa sahabat. Nina berfikir nino sudah bahagia bersama risa dan ia tak ingin merusak kebahagiaan itu. Nina fokus pada sekolahnya hingga ia lulus dengan hasil yang cukup memuaskan. Ia pun kuliah kebetulan di tempat yang sama dengan risa dan nino namun nina berusaha untuk tetap tak peduli meski hatinya masih mengharap.
Beberapa bulan kemudian.
“nak, om irawan ini teman papa. Anaknya menyukaimu dan mereka selaku orangtua ingin melamarmu untuk anaknya. Apa kamu mau nak?” tanya papa nina suatu malam.
“nina terserah papa aja. Lagian mau lanjut kuliah juga kan masih belum ada dananya.” nina pasrah.
“ya udah. Kamu temui anaknya di depan bawakan minum. Biar kami yang atur pertunangan kalian.” kata papa nina. Nina pun menurut.
“ini minumnya.” nina menaruh minum di meja.
“makasih ya na,” jawabnya. Betapa terkejut nina ternyata yang melamarnya adalah nino.
“nino?! Kenapa kamu lamar aku? Gimana sama risa. Cukup aku yang kamu sakiti no,” ucap nina masih kaget.
“sstt.. dengerin aku yaa.. aku sama dia gak ada apa-apa. Aku Cuma anggep dia sahabat. Bahkan sekarang tinggal temen biasa. Aku masih mencintaimu. Aku hanya mencintaimu. Aku gak bisa berpaling na, aku sayang kamu. Sayang ini terlanjur buatmu. Aku tau aku salah gak seharusnya aku sakiti kamu aku abaikan perasaanmu dan aku duakan perhatianku. Aku sadar.. aku salah. Maaf aku yang salah na, kumohon maafkan aku.. sebenernya aku pengen bilang ini dari waktu itu tapi papa suruh aku tunggu waktu yang tepat.” jelas nino.
“gak sepenuhnya kamu salah no, aku juga terlalu berlebihan.” nina merasa bersalah.
“yaudah intinya kita saling maafin yaa.. aku tau kita masih saling mencintai.” tebak nino.
“mungkin kamu bener aku juga masih sayang kamu, tapi ini kan belum lebaran kenapa kita udah maaf-maafan?..” tanya nina mengggoda.
“hmm mulai, gak Cuma lebaran kita boleh maaf-maafan sayang. Udah.. jangan nangis lagi. Kamu mau kan kita selamanya..?” tanya nino menatap nina.
“hemmmm tapi jangan terlalu deket sama cewek lain lagi atau aku bakal minta cerai sebelum kita nikah.” ucap nina. Spontan nino tertawa.
“ya ampunn ada-ada aja kamu nih, udah ah.. sakit perutku.” kata nino di sela tawanya.
“nak, om irawan ini teman papa. Anaknya menyukaimu dan mereka selaku orangtua ingin melamarmu untuk anaknya. Apa kamu mau nak?” tanya papa nina suatu malam.
“nina terserah papa aja. Lagian mau lanjut kuliah juga kan masih belum ada dananya.” nina pasrah.
“ya udah. Kamu temui anaknya di depan bawakan minum. Biar kami yang atur pertunangan kalian.” kata papa nina. Nina pun menurut.
“ini minumnya.” nina menaruh minum di meja.
“makasih ya na,” jawabnya. Betapa terkejut nina ternyata yang melamarnya adalah nino.
“nino?! Kenapa kamu lamar aku? Gimana sama risa. Cukup aku yang kamu sakiti no,” ucap nina masih kaget.
“sstt.. dengerin aku yaa.. aku sama dia gak ada apa-apa. Aku Cuma anggep dia sahabat. Bahkan sekarang tinggal temen biasa. Aku masih mencintaimu. Aku hanya mencintaimu. Aku gak bisa berpaling na, aku sayang kamu. Sayang ini terlanjur buatmu. Aku tau aku salah gak seharusnya aku sakiti kamu aku abaikan perasaanmu dan aku duakan perhatianku. Aku sadar.. aku salah. Maaf aku yang salah na, kumohon maafkan aku.. sebenernya aku pengen bilang ini dari waktu itu tapi papa suruh aku tunggu waktu yang tepat.” jelas nino.
“gak sepenuhnya kamu salah no, aku juga terlalu berlebihan.” nina merasa bersalah.
“yaudah intinya kita saling maafin yaa.. aku tau kita masih saling mencintai.” tebak nino.
“mungkin kamu bener aku juga masih sayang kamu, tapi ini kan belum lebaran kenapa kita udah maaf-maafan?..” tanya nina mengggoda.
“hmm mulai, gak Cuma lebaran kita boleh maaf-maafan sayang. Udah.. jangan nangis lagi. Kamu mau kan kita selamanya..?” tanya nino menatap nina.
“hemmmm tapi jangan terlalu deket sama cewek lain lagi atau aku bakal minta cerai sebelum kita nikah.” ucap nina. Spontan nino tertawa.
“ya ampunn ada-ada aja kamu nih, udah ah.. sakit perutku.” kata nino di sela tawanya.
Cerpen Karangan: Anjar Anita Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar