-

 photo suryaqq728x90_zps62axxndh.gif  photo judi13-728x90_zpsa5peghff.gif
 photo Firaun-Poker-728x90_zpsmmky9jss.gif
 photo im2bet-928x90_zpsw6rsjjqf.gif  photo klikbet_zpsf2qh2m6h.gif

Olahraga

Selasa, 14 Juni 2016

Cinta Yang Terpendam

Angin musim dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Bandung. Angin bertiup agak kencang malam ini. Riska mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke rumahnya. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus sweter tebalnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, dan minum secangkir cokelat panas. Memikirkannya saja sudah membuat perut keroncongan. Dingin-dingin begini memang paling enak…

“Hei!”
Riska terlompat kaget dan berputar cepat. Matanya terbelalak menatap cowok dengan rambut cepak yang sudah berdiri di sampingnya. Begitu mengenali sosok itu sebagai Reno, tetangganya sekaligus sahabatnya sejak kecil, Riska menghembuskan napas lega.
“Reno!!” Riska mendesah sambil memegang dada. “Kamu membuatku terkejut setengah mati.”
Reno mendecakkan lidah dan tersenyum lebar. “Kamu terlalu gampang terkejut.”
“Kamu tahu aku selalu merasa was was kalau berjalan sendirian di jalan sepi,” kata Riska. “Dan aku punya alasan bagus untuk itu.”
“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah kedinginan,” kata Reno sambil melenggang mendahului Riska. “Kelihatannya barang bawaanmu banyak sekali. Kamu bawa buku lagi hari ini?”
Riska mengeluarkan dua buku dari tas ranselnya. Dua-duanya novel bergenre misteri terkenal. “Dua buku ini baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang membacanya. Kamu mau membacanya?” tanyanya pada Reno yang menatap kedua buku itu dengan kening berkerut. “Akan kupinjamkan kalau aku sudah selesai.”
Alis Reno terangkat tinggi dan ia melotot ke arah Riska. “Novel misteri? Yang benar saja,” katanya. “Kamu tahu benar, aku tidak suka membaca novel. Otakku yang sederhana ini hanya bisa memahami manga.”
Riska tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan. “Hari ini kamu pulang terlambat,” katanya.
Reno mengangguk. “Ya, tadi ada janji dengan teman,” sahutnya ringan.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan rumah Riska. Sebenarnya bangunan yang disebut-sebut sebagai rumah itu tidak benar-benar mirip rumah dalam bayangan kebanyakan orang. Bangunan itu lebih layak seperti istana. Namun di rumahnya yang besar dan megah hanya ada dia dan beberapa pembantu rumah tangga. Kadang rumahnya ramai kala para pembantu bekerja sambil bersenda gurau. Sesekali Riska terlibat dalam canda mereka, tapi di lubuk hati, tetap ia merasa kesepian. la menginginkan kehadiran mama-papanya. Orangtuanya kerap ke luar kota. Kalaupun ada di rumah, sedikit sekali waktu yang di luangkan mereka untuk Riska. Papa terlalu sibuk mengurus perusahaan, sementara Mama lebih suka mengatur dan menekan Riska untuk selalu berprestasi optimal.
“Mampir dulu Ren?” tawar Riska basa-basi.
“Kapan-kapan aja Ris, PR-ku lagi numpuk nih.” Tolaknya halus. “Di rumah nggak ada orang lagi Ris?” tanya Reno.
“Nggak, cuman ada aku sama bik Imah, seperti biasa. Ya udah aku masuk duluan ya, bye.” Pamitnya halus.
Riska berlari keeil sambil bersenandung. Gadis itu mengayun kaki jenjangnya dengan riang. Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawut pagi selalu menjadi saat sibuk bagi Riska, dan dia sadar betul hal itu. Makanya dia selalu mengisi kegiatan pagi dengan bersenandung. Selain untuk menyamarkan suara bising di sekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetap riang.
Pagi ini Riska ke sekolah berjalan kaki seperti biasa. Sesekali ia selingi bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan global. Riska memang peduli kelestarian lingkungan. Lagi pula sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat.
Dari rumah, Riska tidak langsung ke sekolah. Dia mampir ke rumah Reno, sahabatnya, yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Selanjutnya Riska dan Reno akan berjalan di trotaar sambil bercanda ria menuju sekolah.
Hampir saja mereka telat. Begitu melewati gerbang sekolah, bel berbunyi. Reno beda angkatan-kelas beda setahun di atas Riska.
“Bye, Ris!” seru Reno saat mereka berpisah di belokan, menuju kelas masing-masing.
Hari ini, pelajaran selesai lebih cepat. Riska keluar kelas, menuju Taman dekat lapangan basket. Menunggu Reno yang sedang latihan basket, sembari menulis sebuah diary yang lebih mirip novelet, kebiasaannya untuk menghilangkan suntuk selama menunggu Reno.
“Doorr…” seru Reno dari belakang, yang sukses membuat Riska terlonjak kaget, menjatuhkan bukunya.
“Reno, kamu tuh ngagetin aja.” Omel Riska.
“Sorry, aku cuman becanda. Lagi nulis lagi?” tanya Reno yang masih diselingi tawanya.
“Iya, iseng sih. Nunggu kamu lama.” jawabnya jujur.
“Novelet?” tebak Reno.
Riska hanya mengangguk mengiyakan. “Yuk pulang, laper nih.” Ajaknya, melenggang terlebih dahulu meninggalkan Reno. Satu hal yang terlupakan oleh Riska, buku diary-nya yang terjatuh, belum diambilnya.
Setelah sampai rumah, Reno membuka tas ranselnya, mengeluarkan buku biru yang ditemukannya di taman tadi, sebelum pulang. Reno sangat mengenali buku itu, milik Riska. Sebenarnya Reno ingin mengembalikan buku itu, namun dia sangat penasaran dengan isi buku itu.
Dengan perasaan ragu, Reno membuka lembar per lembar dari buku itu. Reno sangat terkesan dengan tulisan Riska, bagus. Semuanya ia baca sampai lembar terakhir yang baru ditulis Riska.
“Ini tulisannya kok kayak diary ya, cuman bentuknya novelet aja. Terus kenapa dari halaman awal sampai akhir tulisannya mengarah ke aku ya? Apa jangan-jangan Riska suka sama aku?” tanya Reno lebih ke diri sendiri. “Tapi itu nggak mungkin, Riska nggak mungkin suka sama aku. Kita cuman sahabatan dari kecil.” Tangkisnya.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Reno berusaha menjauhi Riska. Saat bertemu Riska, dia selalu menghindarinya, bahkan untuk bertegur sapa pun tidak. Seolah mereka tidak mengenal satu sama lain, Riska seperti orang asing bagi Reno. Semenjak Reno tau bahwa Riska menyukainya, ia menjauh dari Riska, dan Reno begitu membenci Riska. Setiap kali Reno bertemu Riska, Reno selalu memalingkan wajahnya dari Riska. Walaupun begitu, Riska tetap mencintai Reno. Cinta yang tak pernah padam. Walau Riska tahu, Reno sangat membencinya. Tapi keluarga Reno sangat dekat dengan Riska dan keluarganya. Bahkan, keluarga Reno pun setuju jika Riska dan Reno berpacaran. Mereka pun sering meledek Riska pacaran dengan Reno ataupun sebaliknya.
Riska juga memiliki sahabat yang bernama Aira dan Vitha. Aira dan Vitha merupakan tempat curhatnya, dimana Riska selalu bercerita tentang Reno selain pada diarynya. Namun hal yang tak diduga oleh Riska adalah Aira, sahabatnya juga menyukai Reno. Dari situ, Riska mulai merasa bahwa Aira telah mengkhianatinya. Riska pun merasa kesal pada Aira.
Di kelas Riska ada anak baru bernama Allan yang merupakan teman Riska. Menurut Riska, Allan adalah teman sekaligus sahabat yang menyenangkan baginya, karena ia selalu menghibur Riska saat sedih.
Allan dan Reno memiliki ulang tahun yang sama, yaitu pada 15 November. Saat ulang tahun Allan, Riska diajak ke pesta ulang tahun Allan, begitu banyak kejutan yang diberikan Allan pada Riska, hingga sampai pada puncaknya saat Allan menyatakan perasaan cintanya pada Riska.
“Ris, aku cinta kamu.”
Diam.
Riska tercengang. Dia mendengar Allan mengucapkan kata itu, tapi tak begitu yakin. Itu tadi betulan tidak? Allan menembakku? pikir Riska.
“Bagaimana, Ris?”
“Maaf.” Jawab Riska polos, hanya kata itu yang bisa dia ucapkan.
“Maaf untuk apa?” Tanya Allan.
“Aku nggak bisa, Lan. Rasa sayangku masih untuk Reno.” Ucap Riska akhirnya.
Allan jadi sebal. Allan tahu bagaimana perlakuan Reno terhadap Riska, hingga akhirnya Riska down, tapi Allan tidak bisa memaksa Riska, menerimanya. Allan tahu, tidak mudah melupakan Reno bagi Riska. “Meski setelah dia nyakitin kamu?” tanyanya.
Riska mengangguk, “Iya, aku masih menyayanginya meski dia udah nyakitin aku.” Katanya tegas. “Maaf.”
“Iya, nggak apa-apa, aku tahu.” Ucap Allan akhirnya.
Malam pun mulai larut, Riska diantar pulang Allan. Namun sesampainya di rumah, Riska menghampiri seekor kucing yang ada di seberang jalan rumahnya, namun alam berkata lain. Riska tertabrak motor yang melaju begitu kencang, Riska sempat dilarikan ke rumah sakit, namun Riska tak dapat diselamatkan.
Tanpa Riska ketahui, sebenarnya Reno pun mempunyai perasaan yang sama pada Riska. Tapi Reno terlalu pengecut, dan tenggelam dalam ketakutannya jika suatu saat mereka tidak berjodoh dan mereka saling membenci. Reno belum siap kehilangan sahabat sebaik Riska, jadi Reno memendam perasaan itu. Reno sangat terpukul sepeninggal Riska. Ia masih terfikir bayang-bayang Riska. Ia menyesal telah berperilaku buruk terhadap Riska.
Saat pulang sekolah, Reno melajukan sepeda motornya dengan kencang. Kemudian ada truk yang menabraknya. Reno koma selama 1 minggu. Pada saat koma, Reno merasa seakan Riska datang menemuinya.
“Riska…” panggil Reno pelan.
Bayangan Riska mendekatinya, membelainya, sesaat.
“Aku harus pergi, maaf. Kamu nggak boleh lemah seperti ini.” Kata Riska.
“Aku sayang sama kamu Ris, kamu jangan pergi.” Pinta Reno.
“Aku harus pergi Reno. Aku sayang sama kamu.” Ucap Riska, lalu Riska berlari menjauh, dengan riang, hingga akhirnya Riska menghilang.
Reno pun siuman, Reno sadar akan semua kesalahannya. Dia sudah bisa menerima semua yang telah terjadi. Reno mulai sabar dan tabah menghadapi cobaan yang diberikan Allah padanya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu kuat menjalani hidupnya walau tanpa Riska, sahabat yang sangat ia sayangi. Cinta yang tak pernah padam walaupun kamu telah disakiti. Cinta memang selalu indah, dan Riska telah membuktikannya dengan menjadikan Reno kisah terindah dalam hidupnya.
Cerpen Karangan: Oktavia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar