Daun-daun hijau tanaman teh ini mungkin dulu menjadi saksi cinta kita yang kini telah tiada. Ku seka air mataku yang menetes tanpa kusadari ketika memikirkannya sekarang. Ya, kini dia adalah salah satu dari koleksi mantanku yang meninggalkan luka di hati yang begitu dalam dan perih.
Galih namanya. 2 tahun yang lalu pertama kali kita bertemu, “Aku seneng banget loh kenal kamu, brinda” ucapannya pertama kali di hadapanku. “Iya aku juga” jawabku dengan senyuman tipis. Kami becerita tentang mantan, tentang keluarga, tentang teman, dll. Kami bertemu di lantai 3 sebuah kafe di suatu kota kecil di Jawa Timur. Pertemuan itu menjadi awal dari semua cerita dan kenangan ini.
Hampir 1 tahun kami berkenalan dan saling mengenal satu sama lain, aku mulai merasa nyaman bersamanya. Awal tahun 2015 dia mengajakku mendaki bukit berdua, “Brin, kamu ada waktu nggak?, kalo kamu ada waktu kita jalan berdua yuk?” Pesan singkat dia di pagi hari membangunkanku. “Iya galih, kamu jemput aku jam berapa?” Ku balas pesan singkat galih.
Pukul 09.00 kami berangkat menuju kebun teh yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal kami. Di perjalanan kami bersenda gurau dan tertawa bersama layaknya sepasang insan yang bahagia. Kami mengendarai sebuah motor. Jalan yang kami tempuh begitu terjal dan menanjak. Sesekali aku memegang pinggangnya untuk berpegangan dan dia pun tersenyum melihatnya. “Maaf galih, aku cuma takut jatuh” kataku lirih. Galih hanya tertawa dan meledekku “Kamu penakut yah ternyata” sambil menjulurkan lidahnya. Aku hanya diam dan tanganku tetap berpegang erat di pinggangnya.
1 jam sudah perjalanan tadi kami tempuh. Lelah yang tadi kami rasakan kini telah tergantikan oleh keindahan alami hamparan hijau kebun teh dan pegunungan. “Wah indah banget ya galih” kataku terkesima. “Iya brinda, seindah wajahmu yang selalu ada di benakku haha” jurus gombalnya pun keluar. “Gombal deh” kataku cuek.
Kami memarkirkan motor di sebuah area di bawah bukit, kami melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan berdua menyusuri bukit-bukit teh. Di tengah perjalanan aku terkilir “aduh kaki ku sakit galih” kataku sambil duduk di sebuah batu di pinggir kebun. “Kamu hati-hati dong brinda, sini aku gendong”. Tanpa pertanyaan dan persetujuan dia menarikku perlahan dan dia gendong. “Kamu gak papa galih, jalannya kan menanjak” kataku merasa bersalah. Dia tersenyum dan berkata “Demi kamu apapun aku lakuin Brinda”.
Sampailah kami di sebuah gubuk di puncak bukit. Disana terdapat 1 gubuk dan telah diisi sepsang pasangan lain. Ketika kami sampai ternyata hujan mengguyur dengan derasnya. Terpaksa kami pun ikut berteduh walaupun mungkin menganggu pasangan lain disana. Petir menggelegar dan hujan begitu derasnya. Gubuk itu sangat sempit dan kecil hanya terdapat atap melingkar dan 1 kursi yang telah digunakan pasangan lain. Kami saling membelakangi dengan pasangan lain. Namun dengan keadaan tak ada kursi lain, kami terpaksa memakai sepatu sebagai alas. Karena kondisi gubuk yang sedemikian rupa Galih duduk di sampingku namun begitu dekat. Dia memegang erat tanganku dan mengajak bicara. “Brinda, kamu gak dingin apa? Seharusnya kamu bawa jaket sayang” Kata Galih sambil memakaikan jaketnya ke tubuhku. “Makasih Galih” ucapku sambil tersenyum. Dia menggenggam tanganku dan berkata “Brinda”, aku menoleh ke arahnya, dia berkata lagi “Kamu mau nggak menjalin kisah cinta bersamaku? Entah kapan aku mulai menyayangimu, Brinda. Mau kah kamu jadi pacarku?”. Aku terdiam dan berdebar-debar, yang dia rasakan sama halnya dengan yang aku rasakan. Aku berkata “Aku juga Galih, entah kapan aku mulai merasa nyaman di sampingmu”, dia menjawab “Jadi, kamu mau nggak nerima cintaku?” Sambil memegang kedua tanganku dan berhadapan. “Iya Galih” kataku sambil tersenyum bahagia.
Hujan yang sedari tadi turun dengan derasnya, kini mulai reda dan suara burung-burung berkicauan bagaikan menyambut cinta kami berdua. Kami berjalan-jalan menyusuri celah- celah kebun teh dan berlari-lari berdua. Waktu menunjukkan pukul 3 sore, aku dan Galih beranjak menuju area parkir dan pulang dengan perasaan gembira. Waktu terus berjalan dan hubungan kami pun semakin hari semakin pasang dan surut.
Dilain waktu kami sangat serasi dan romantis, dan dilain waktu lagi kami bertengkar dan mempermasalahkan hal-hal kecil. Sampai suatu ketika pertengkaran kami semakin parah, 3 hari dia tanpa menghubungiku ataupun aku menghubungi dia. Aku sebenarnya cemas dan khawatir, tapi aku bukan cewek yang memelas dan meminta maaf duluan. Ku ambil HPku dan menelpon Galih. “Halo Sayang” kataku ketika berbunyi beep. “Halo, ini siapa ya?” Suara lirih seorang wanita yang tak pernah aku dengar sebelumnya. “Loe siapa? Gue pacar Galih” kataku sambil marah. Dia berkata “Oh pacarnya, udah berapa lama loe pacaran sama Galih”, aku menjawab “Loe siapa, mana Galih?” Kataku sembari menagis tak terbendung ketika pikiran-pikiran negatif mulai berkumpul di benakku. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita tersebut mematikan panggilan tersebut.
Ketika aku sudah tidak memiliki kesabaran lagi, aku datang ke rumahnya. Disana ada ayah dan adiknya, namun tak kulihat Galih bersama mereka. “Permisi pak, Galihnya ada” aku bertanya pada ayah Galih. “Iya ada dik, tunggu disini ya ayah panggilkan” kata ayah Galih. Ku dapati Galih keluar dari kamarnya dengan wajah bingung dan panik. “Galih nomor HP kamu siapa yang bawa?” Kataku dengan perasaan kecewa. Dia diam tak berkutik dan keluar menuju tempat duduk di depan rumahnya. Aku bertanya lagi “Kamu selingkuh haa? Jawab Galih” kataku dengan air mata yang menetes. Dia menjawab “Ya maaf”, kata-kata yang naif dan tak ingin ku dengar itu pun keluar lalu menembus telingaku dan masuk kedalam hati. Tanpa basa-basi aku berkata PUTUS dan aku tampar dia lalu beranjak pulang sambil menangis. Dia tak mengejarku ataupun menjelaskannya.
Sejak itu hubungan kami telah kandas. Kenangan indah darinya aku buang dan nomor HPnya ku hapus. Foto-foto kami di tempat- tempat yang pernah kami kunjungi tak terlewatkan ku hapus dan ku buang. Masa- masa kelam itu pun ku lalui sendiri dengan sakit perihnya hatiku. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai menyadari. Bahwa di sampingku ada keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekatku yang tulus menyayangiku tanpa adanya penghianatan dan kekecewaan. Tamat.
Cerpen Karangan: Nisa Moore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar