Menjelang hari raya, Aku ingin membelikan sesuatu untuk Ibu. Namun, rasanya harapan itu harus dikubur dalam-dalam. Aku hanyalah gadis remaja yang mempunyai pekerjaan sehari-hari. Hanya sebagai pemulung yang tak beruntung. Mengumpulkan barang bekas dan disulap sedikit untuk dijual. Namun, sial akhir-akhir ini aku hanya mendapatkan botol bekas. Hanya hitungan hari, hari raya tiba. Aku merasa tak beruntung berada di dunia ini.
Fajar pagi telah menyambut. Saatnya Aku meninggalkan dunia mimpi yang indah. Aku lupa sahur hari ini. Sial, namun untungnya tadi malam Aku sudah mengucapkan niat. Raaa haus dan lapar menyerang perutku yang telah bergemuruh. Aku membiarkannya dan segera menumpahkan air ke seluruh tubuh.
“Ibu, Aku pergi Assalamualaikum,” pamitku bersalam kepada Ibu tercinta dan segera mengambil gerobak kecil. Kujalani hari ini seperti biasa. Tak ada keistimewaan apapun. Hanya berharap ada keajaiban yang ada dari Allah Swt. Mungkinkah itu takdirku selamanya. Tak dapat membahagaikan Ibu, dan tak bisa membuat orang lain bahagia. Bagaimana bisa? Punya teman saja tidak ada. Huh…
Aku mendapati beberapa botol bekas di salah satu tempat sampah umum. Ada satu botol yang menarik bagiku. Aku menyimpannya dengan baik, kupandangi gamis yang ingin kuberi sebagai hadiah untuk Ibu. Membayangkan harganya, dadaku terasa sesak. Tak terasa, butiran air mata menetes di pakaianku yang sudah lecek ini.
“Dek, tunggu,” teriak Bapak-Bapak berpakaian rapi. Ia menghampiriku dan Kami berbincang-bincang. Tentang botol berkemasan keemasan yang kutemukan tadi. Ia berharap, Aku akan menjual botol itu untuknya dengan bayaran mahal. Ternyata, Ia adalah salah satu pengusahaan botol terkenal di kota ini. Aku dengan mata berbinar, menerimanya dengan senang hati.
Kuterima uang merah, jumlahnya lima lembar. Rp. 500.000,- begitu ku hitung. Alhamdulillah, Aku bersujud mengucap syukur kepada Allah Swt. Dengan riang, Aku menghampiri toko baju. Masih ada, dan harganya adalah Rp. 250.000,- Lengkap dengan kerudungnya dan sepatu. Menurutku, itu harga yang relatif murah.
Aku membungkus dengan kardus yang baru saja Aku temukan di jalanan. Sebenarnya, Aku berencana memberinya satu hari sebelum hari raya. Aku sibuk memikirkan cara agar bisa memberikannya di hari itu juga. Namun, tak kunjung lampu di kepalaku muncul. Perasaan bingung menghantuiku. Melihat langit senja telah terlihat. Dan lalu lalang kendaraan terlihat sangat banyak.
Brukkk!!! Aku merasakan sakit yang luar biasa. Semua gelap, Aku tak dapat melihat apa-apa. Malangnya Aku, hanya seorang gadis remaja yang ingin membahagiakan Ibu. Namun, entah mengapa sepertinya ada kendaraan yang menabrakku. Mereka menyebutnya dengan sebutan “Truk” Aku menelusuri jalan gelap tanpa arah.
Sesosok makhluk berwarna putih cerah mendekatiku. Menghampiriku yang sedang dilandai kebingungan yang membara.
“Melodi, Aku punya pilihan” suaranya terdengar seperti sahabatku, Vivi ia telah meninggal.
“Apa?” tanyaku polos, tak ingin tahu.
“Kau ingin bersamaku, atau tetap ingin di dunia,”
“Tentu saja di dunia,”
“Tidak, ini ajalmu,”
Seketika, cahaya yang suaranya mirip Vivi itu pergi menjauh dan Aku tersadar.
“Melodi, Aku punya pilihan” suaranya terdengar seperti sahabatku, Vivi ia telah meninggal.
“Apa?” tanyaku polos, tak ingin tahu.
“Kau ingin bersamaku, atau tetap ingin di dunia,”
“Tentu saja di dunia,”
“Tidak, ini ajalmu,”
Seketika, cahaya yang suaranya mirip Vivi itu pergi menjauh dan Aku tersadar.
“Ibu…”
“Nak, akhirnya kamu sadar…”
Ibu bergejolak senang. Aku menatap kalender yang berada di sebelahku. Ibu mencoret tanggal yang telah lewat. Ternyata hari ini lebaran. Berarti aku telah melewati shalat Idul Fitri. Aku teringat baju gamis yang ada. Kardus itu berada di sebelahku. Walau kardus itu berumuran darah dan sedikit penyok serta lecet. Namun, aku yakin dalamnya masih utuh. Demi Ibu, Aku akan memberikannya,
“Ibu… Ini hadiah untuk Ibu,”
“Terima kasih Nak, Kamu memang Anak Ibu yang baik,”
Aku tersenyum kecil, dan menutup mata selama-lamanya.
“Nak, akhirnya kamu sadar…”
Ibu bergejolak senang. Aku menatap kalender yang berada di sebelahku. Ibu mencoret tanggal yang telah lewat. Ternyata hari ini lebaran. Berarti aku telah melewati shalat Idul Fitri. Aku teringat baju gamis yang ada. Kardus itu berada di sebelahku. Walau kardus itu berumuran darah dan sedikit penyok serta lecet. Namun, aku yakin dalamnya masih utuh. Demi Ibu, Aku akan memberikannya,
“Ibu… Ini hadiah untuk Ibu,”
“Terima kasih Nak, Kamu memang Anak Ibu yang baik,”
Aku tersenyum kecil, dan menutup mata selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar