Bel tanda pulang sudah berbunyi dari arah speaker kelas. Ini bagaikan surga dari nerakanya hari ini. Dimana semua mata pelajaran dihinggapi UTS yang menguras energi dan memusingkan kepala. Ya, aku harus mengakuinya ini SMA berbeda sekali dengan SD yang bisa saja menganggap remeh ulangan, UTS atau ujian semester sekalipun dan tak terlalu diomel ibu jika nilai ulangan rendah. Tapi nyatanya, inilah aku sekarang siswa kelas tiga SMA yang sedang dipusingkan oleh ujian-ujian yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Kulambaikan tangan kananku ke arah angkot kuning yang melintas. Satu-dua angkot mengabaikanku, entah karena penumpang sudah penuh atau memang tak menghiraukanku yang sejak tadi berdiri di sisi persimpangan ini, entahlah aku tak mengerti. Sabar timpalku dalam hati. Kulambaikan tanganku untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya satu angkot pun menepi.
—
Aku pulang dengan model jilbab tak karuan. Ada saja rambut yang menyembul di sana-sini. Baju putih yang kehijau-hijauan dan ditambah lagi rok merah yang sudah kotor. Kedua tanganku menjinjing sepatu yang begitu kumal. Dengan setengah kaget ibuku mengomel panjang hingga menyeretku ke kamar mandi, dan anehnya aku menurut tanpa memberontak.
Pak Zuhri. Dia adalah sosok guru yang baik, ramah, humoris, asik dan kreatif. Ada-ada saja materi yang dikemas dengan experimen-experimennya yang menarik. Mulai dari membuat roket air, penyuling air, membuktikan sifat air dan lain sebagainya.
Siang itu kami tengah mempersiapkan eksperimen mengenai sifat air mengalir ke bawah. Kami dibagi menjadi lima kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Aku dan kedua temanku berada di lantai dua sambil memegang benang wol. Di ujung benangnya ditarik oleh kedua temanku yang lain dari bawah, hingga benang tersebut membentuk diagonal. Dalam kurun waktu dua puluh detik, air gincu hijau ini harus dialirkan ke bawah menggunakan benang wol hingga memenuhi wadah yang berada di lantai bawah. Pada hitungan ketiga, perlahan-lahan aku alirkan air itu. Meski banyak yang tumpah ternyata banyak juga air yang kami tampung dan kami juaranya pada percobaan kali ini. Usai percobaan, kami telah membuat rencara untuk menyiram Pak Zuhri dengan air gincu hijau itu karena ia berulang tahun pada hari ini. Itulah yang membuat baju, jilbab dan sepatuku terlihat begitu jorok.
Lain lagi dengan tingkahnya yang jahil. Bapak Zuhri dengan seenaknya saja mengubah nama muridnya sesuai apa yang dia mau. Contohnya aku yang sebenarnya dipanggil Reta, tapi karena nama panjangku Reta Fadil Hasanah maka ia memanggilku berbeda dari yang lain, ia mengambil nama tengahku dan memanggilku “Fadil” semua teman-teman dan termasuk guru pun mengikutinya. Nama itu sangat tidak cocok dijadikan panggilanku karena nama Fadil itu identik dengan nama cowok. Aku sempat merasa kesal yang seenaknya saja mengubah namaku, tapi lama-kelamaan aku terbiasa dan menyukainya.
Juga cara mengajarnya yang tegas dibalut dengan humorisnya. Membuat kami menikmati pelajaran sains ini. Ia juga tidak sungkan-sungkan memberi kami bintang jika nilai kami sempurna. Sehingga membuat kami termotivasi untuk mendapatkan nilai yang baik.
Juga cara mengajarnya yang tegas dibalut dengan humorisnya. Membuat kami menikmati pelajaran sains ini. Ia juga tidak sungkan-sungkan memberi kami bintang jika nilai kami sempurna. Sehingga membuat kami termotivasi untuk mendapatkan nilai yang baik.
—
Aku merasa tubuhku seperti diguncang-guncang dan seketika itu juga aku mendengar suara samar-samar.
“Dek, kok melamun? Nanti rumahnya kelewatan lho!” ujar seorang wanita paruh baya sembari sedikit mengoncangku.
“Eh iya buk, maaf” ucapku asal, sembari mengucek mata yang tak ngantuk. Ternyata lamunanku barusan membuatku bernostalgia tentang masa SDku terhadap Pak Zuhri. Kulihat gapura gang rumahku sudah kelihatan.
“Minggir..!!” ucapku lantang, sengaja agar si sopir tak melewati gang rumahku. Segera aku turun, lalu meronggoh kantung bajuku mengambil uang seribu lima ratus dan memberikannya kepada si sopir.
“Dek, kok melamun? Nanti rumahnya kelewatan lho!” ujar seorang wanita paruh baya sembari sedikit mengoncangku.
“Eh iya buk, maaf” ucapku asal, sembari mengucek mata yang tak ngantuk. Ternyata lamunanku barusan membuatku bernostalgia tentang masa SDku terhadap Pak Zuhri. Kulihat gapura gang rumahku sudah kelihatan.
“Minggir..!!” ucapku lantang, sengaja agar si sopir tak melewati gang rumahku. Segera aku turun, lalu meronggoh kantung bajuku mengambil uang seribu lima ratus dan memberikannya kepada si sopir.
Aku berjalan terseok-seok, aku merasa tubuhku ringan. Hingga membuat badanku membungkuk ke depan dikarenakan muatan tas yang tak seimbang dengan berat badanku. Aku berjalan perlahan hingga menuju rumah. Fikiranku melanglang-buana. Masih jelas terbayang yang aku lamunkan di angkot tadi. Aku masih tak percaya dibuatnya. Bibirku kelu tak dapat berucap barang satu dua patah kata pun, serasa sesak memenuhi rongga dadaku. Sekujur tubuhku merinding. Jujur aku benar-benar tak kuasa.
Dua hari yang lalu, Vina adik kelasku sewaktu SD sempat membroadcast ke bbmku, bahwa Pak Zuhri telah meninggal dunia, dikarenakan kanker yang bersarang di kepalanya. Ia memang sudah sakit-sakitan sejak tiga tahun belakangan ini. Tapi aku tak menyangka bahwa dia akan pergi secepat ini. Terakhir aku menemuinya dia masih sehat walafiat sekitar lima atau empat tahun yang lalu di sebuah ajang perkemahan. Ada rasa sesal yang bersarang di hatiku, mengapa saat aku bertemu dengannya takku sapa dan menyalaminya. Lantas, kini dia telah pergi untuk selama-lamanya.
Kututup cepat lamunanku, dan segera melanjutkan perjalanan menuju rumah. Terima kasih untuk semuanya Pak Zuhri, kau telah berhasil menjadi guru yang baik, semoga ilmu yang kau berikan kepada kami siswa-siswimu dapat menjadi amal jariyahmu, do’aku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar