Sore itu, aku duduk di pasir putih pantai sambil menyaksikan ombak berlari-larian di tepi pantai kuta, menjelang si raja siang terbenam, untuk menenangkan diri dari segala masalah yang menerpaku. Namaku Dinda, saat ini aku duduk di kelas 3 SMA. Kulihat para pecinta pantai itu sedang berselancar menikmati kehidupan mereka. Apakah mereka juga sedang diterpa masalah sama sepertiku? Apakah masalah mereka lebih berat dariku, sehingga mereka melakukan hal hebat itu untuk lari dari masalah? Ataukah justru sebaliknya, mereka sangat bahagia? Aku bertanya-tanya hal konyol itu dalam hatiku.
Aku punya banyak masalah dicampur kesedihan, ayah dan ibuku baru cerai 3 hari yang lalu. Ayahku memilih lari dari rumah, dan kini aku tak tahu dimana jejaknya, bahkan nomor handphonenya tak bisa dihubungi. Ibuku memlih untuk kerja di Jakarta, tapi untungnya aku masih bisa menghubungi ibuku untuk meminta biaya bulanan. Saat ini aku tinggal bersama nenekku. Tapi aku tetap bersyukur karena aku punya 3 orang sahabat yang menyemangatiku dan salah satu diantaranya senasib denganku.
Esok hari aku datang bermain ke pantai itu lagi bersama 3 orang sahabatku Rika, Ratna, dan Uli. Aku dan Uli memilih untuk memulai belajar selancar sore itu. Sedangkan Rika dan Ratna sibuk memotret di pantai itu. Karena memang Uli hampir senasib denganku. Ibunya meninggal 3 bulan yang lalu dan ayahnya lari dari rumah dan menikah dengan wanita lain. Kami pun mulai belajar bermain selancar itu dengan guru pembimbing.
Tiga hari kami berlatih dan akhirnya bisa. Kami mulai sering bermain ke pantai itu dan semakin mahir berselancar. Pada suatu hari, aku sudah selesai bermain selancar dan duduk beristirahat di pasir itu. Aku masih melamun sendiri memikirkan keluargaku yang hancur. Tiba-tiba ada sentuhan lembut di pundakku.
“Hai, kenapa diam aja, bisakah kau berselancar?” Tanya seorang laki-laki yang umurnya tak beda jauh dariku, ia hitam manis, dengan bentuk body yang lumayan atletis, rambut hitamnya yang tebal dan sedikit acak-acakan, hidungnya yang mancung dengan senyuman yang manis.
“Aku sudah selesai bermain selancar, silahkan kau waktunya bermain”
“Apakah kau akan mengusirku?” Tanya lelaki itu.
“Ohh, bukan bukan maksudku mengusirmu, aku hanya mengatakan..”
“Ooo, kalau gitu siapa namamu? Maukah kau menjalin pertemanan denganku” sambil menjulur tangan
“Namaku Dinda” berjabat tangan
“Ohh Dinda, namaku Aldi” ia mengatakan sambil tersenyum
“Apakah kau duduk di bangku SMA?” tanyaku.
“Tidak, aku kuliah baru semester 1, aku kuliah di kota Bandung”
“Jadi, apa maksud kedatanganmu ke Bali?”
“Aku ke sini untuk berkunjung ke rumah kakek dan nenekku. aku memang kelahiran Bali”.
“Ohh, jadi orangtuamu juga disini ya?”
“Tidak, orangtuaku sudah pisah sejak aku kelas 1 SMP, sampai sekarang aku tidak tahu dimana ayah dan ibuku”
“Lalu, bagaimana soal biaya kuliahmu?”
“Aku mencari biaya kuliah dengan bekerja, dan sebelum ayah dan ibuku pisah, mereka sudah memberiku harta warisan untuk bekalku”.
“Berarti kita senasib Aldi, ayah dan ibuku juga sudah pisah beberapa hari yang lalu, ayahku sudah lost contact, sementara ibuku memilih untuk bekerja di Jakarta, jadi saat ini aku hanya tinggal berdua dengan nenekku”.
“Oohh, semangat ya Dinda, jangan bersedih, jika kau merasa kesepian untuk beberapa hari mendatang, kau bisa menghubungiku, ini no hp ku, soalnya 2 hari lagi aku harus sudah kembali ke Bandung”
“Terima kasih Aldi, kau hadiah dari Tuhan untuk menemani hidupku selain sahabatku”.
“Aku juga berterima kasih Din, aku senang bisa mengenal dirimu, ayo kita ciptakan momen indah di sunset ini”
“Hai, kenapa diam aja, bisakah kau berselancar?” Tanya seorang laki-laki yang umurnya tak beda jauh dariku, ia hitam manis, dengan bentuk body yang lumayan atletis, rambut hitamnya yang tebal dan sedikit acak-acakan, hidungnya yang mancung dengan senyuman yang manis.
“Aku sudah selesai bermain selancar, silahkan kau waktunya bermain”
“Apakah kau akan mengusirku?” Tanya lelaki itu.
“Ohh, bukan bukan maksudku mengusirmu, aku hanya mengatakan..”
“Ooo, kalau gitu siapa namamu? Maukah kau menjalin pertemanan denganku” sambil menjulur tangan
“Namaku Dinda” berjabat tangan
“Ohh Dinda, namaku Aldi” ia mengatakan sambil tersenyum
“Apakah kau duduk di bangku SMA?” tanyaku.
“Tidak, aku kuliah baru semester 1, aku kuliah di kota Bandung”
“Jadi, apa maksud kedatanganmu ke Bali?”
“Aku ke sini untuk berkunjung ke rumah kakek dan nenekku. aku memang kelahiran Bali”.
“Ohh, jadi orangtuamu juga disini ya?”
“Tidak, orangtuaku sudah pisah sejak aku kelas 1 SMP, sampai sekarang aku tidak tahu dimana ayah dan ibuku”
“Lalu, bagaimana soal biaya kuliahmu?”
“Aku mencari biaya kuliah dengan bekerja, dan sebelum ayah dan ibuku pisah, mereka sudah memberiku harta warisan untuk bekalku”.
“Berarti kita senasib Aldi, ayah dan ibuku juga sudah pisah beberapa hari yang lalu, ayahku sudah lost contact, sementara ibuku memilih untuk bekerja di Jakarta, jadi saat ini aku hanya tinggal berdua dengan nenekku”.
“Oohh, semangat ya Dinda, jangan bersedih, jika kau merasa kesepian untuk beberapa hari mendatang, kau bisa menghubungiku, ini no hp ku, soalnya 2 hari lagi aku harus sudah kembali ke Bandung”
“Terima kasih Aldi, kau hadiah dari Tuhan untuk menemani hidupku selain sahabatku”.
“Aku juga berterima kasih Din, aku senang bisa mengenal dirimu, ayo kita ciptakan momen indah di sunset ini”
Kemudian dia menyuruh salah seorang di pantai itu untuk memotret kami dengan kamera miliknya di tengah sunset.
“Akan kusimpan foto ini Dinda, semoga kau selalu mengingatku”
“Tapi, besok kita masih bisa jumpa kan?”
“Iya, besok hari terakhir liburanku, Oh ya, kamu gak pulang? Ini udah mau maghrib loh? Biar aku anterin”
“Oh ya, aku sampai lupa waktu”.
“Akan kusimpan foto ini Dinda, semoga kau selalu mengingatku”
“Tapi, besok kita masih bisa jumpa kan?”
“Iya, besok hari terakhir liburanku, Oh ya, kamu gak pulang? Ini udah mau maghrib loh? Biar aku anterin”
“Oh ya, aku sampai lupa waktu”.
Kemudian Aldi mengantarku sampai ke rumah nenekku. Esok hari, kami jumpa lagi dan menikmati segala keseruan di pantai itu. Aldi sangat mahir memainkan selancar. Tapi senja telah tiba, ini yang terakhir kali aku bertemu Aldi.
“Good Bye Dinda, aku harap kau selalu mengingat momen ini, aku berharap suat saat kita bisa bertemu lagi dan membuka lembaran kisah yang baru”.
“Good Bye Dinda, aku harap kau selalu mengingat momen ini, aku berharap suat saat kita bisa bertemu lagi dan membuka lembaran kisah yang baru”.
Air mata menetes di pipikundan dia menghapus dengan sentuhannya, sentuhan yang selalu kuingat dalam setiap langkahku. Aku berjalan meninggalkan pantai itu dan kemudian Aldi menahan tanganku sambil membisikkan “Jangan bilang ini yang terakhir, kisah cinta abadi akan menghampiri kita suatu saat nanti”
Singkat cerita, aku lulus SMA dan masuk ke salah satu Universitas di Bandung tempat Aldi dulu yang pernah diberitahunya kepadaku. Tapi aku menanyakan semua teman yang satu jurusan dengan Aldi, tapi mereka mengatakan bahwa Aldi sudah keluar dari Universitas ini. Aku sangat kecewa dengan takdir. Karena takdir berjalan tak sesuai dengan harapanku. Tapi suatu hari aku berjalan pulang dari universitas itu dan terasa ada yang menahan tanganku, dan betapa senang saat kulihat wajah itu adalah Aldi, dan ia mengatakan “Ini belum yang terakhir, maukah kau membuka lemabaran kisah yang baru bersamaku?” Tanyanya.
“Maksudnya?”
“Aku ingin kau untukku selamanya”
Kemudian ia memberi bunga kecil kepadaku dan aku menerimanya. Kulihat di selipan bunga itu ada suatu foto kecil yaitu foto saat pertama aku bertemu dengan Aldi dengan pemandangan sunset yang indah.
“Maksudnya?”
“Aku ingin kau untukku selamanya”
Kemudian ia memberi bunga kecil kepadaku dan aku menerimanya. Kulihat di selipan bunga itu ada suatu foto kecil yaitu foto saat pertama aku bertemu dengan Aldi dengan pemandangan sunset yang indah.
Satu kalimat yang selalu kuingat dari Aldi “Ini belum yang terakhir”
Cerpen Karangan: Anggita Mardika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar